Selasa, 01 Desember 2020

MATERI HIWALAH (Pengertian,Rukun dan Syarat,Hadist,Teknik Pelaksanaan Hiwalah)

 

Nama : Ma’rifah

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist

Menurut saya dari materi yang disampaikan tentang hiwalah adalah keadaan dimana pemindahan tanggungan yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak ketiga  dengan kesepakatan pihak ketiga dan bisa juga pihak ketiga yang memiliki tanggungan hutang kepada pihak pertama yang kemudian yang dapat membackup hutang yang dimiliki pihak petama kepada pihak kedua. Contoh sederhananya adalah ketika Si A punya hutang uang untuk membeli hp kepada si B dan  minggu lalu ternyata Si C punya hutang uang  kepada si A untuk membayar SPP. Dan ketika Si B menagih utang kepada Si A ternyata Si A belum punya uang dan akhirnya Si A mengabari kepada Si C bahwa uang yang seharusnya di berikan kepadanya diberikan kepada Si B saja.

HIWALAH

A. Pengertian Hiwalah

Secara bahasa hiwalah diambil dari kata tahawwul yang artinya berpindah. Dinamakan demikian karena akad ini memindahkan utang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain. Secara etimologi pengalihan hutang dalam hukum Islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu al-intiqal dan at-tahwil, artinya adalah memindahkan atau mengalihkan.

Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:

  1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah “Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
  2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
  3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah “Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
  4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah “Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
  5. Ensiklopedi hukun islam, Menurut Ensiklopedi Hukum Islam Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama”.

 B. Rukun dan Syarat Hiwalah

Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan qabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam yaitu

  1. Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
  2. Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).
  3. Muhal‘alaih (orang yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan atau orang yang dihiwalahi yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah)
  4. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang muhil kepada muhal)
  5. Hutang muhal‘alaih kepada muhil
  6. Shighat hiwalah (pernyataan hiwalah yaitu, ijab dan qabul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “aku hiwalahkan hutangku kepada si fulan”. Dan qabul adalah dari muhal‘alaih dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”) Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, pihak kedua, dan pihak ketiga, serta yang berkaitan dengan utang itu sendiri.
Adapun syarat-syarat hiwalah menurut para fuqaha adalah:
  1. Syarat yang diperlukan pada muhil (orang yang mengalihkan hutang) adalah:
    1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah mengeri (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.
    2. Adanya pernyataan persetujuan atau kerelaan (ridla). Jika muhil dipaksa untuk melakukan hiwalah, maka akad tersebut tidak sah. Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orangn merasa keberatan dan terhina harga dirinya jika kewajibannya untuk membayar hutang dialihkan kepada pihak lain, meskipun pihak lain itu memang berutang padanya.
  2. Syarat yang diperlukan pada muhal (orang yang memberi hutang) adalah:
    1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana muhil.
    2. Mazhab Hanafi, sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan adanya persetujuan muhal terhadap muhil yangmelakukan hiwalah.
  3. Syarat yang diperlukan bagi muhal ‘alaih adalah
    1. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya.
    2. Mazhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari pihak muhal ‘alaih. Sedangkan ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu.
    3. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.

 C. Hadits Tentang Hiwalah

Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan bentuk manifestasi dari semangat ayat tersebut. Landasan syariah Hawalah: Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sabda Rosullah saw:

 "Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar). Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda

Artinya:

“Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan (dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah” (HR bukhori dan mislim).

Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti”.

Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang buka pemindahan bendah.

Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.

Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki harus boleh...dst.”.

D. Teknis Pelaksanaan Hiwalah

Take over berarti mengambil alih, atau dalam lingkup suatu perusahaan adalah perubahan kepentingan pengendalian suatu perseroan. Terkait itu, take over syariah adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi non-syariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah.

Berdasarkan Fatwa Dewan Syari-ah Nasional, take over disebut juga peng-alihan hutang. Pengalihan hutang yang dimaksud disini adalah pengalihan transaksi non-syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Take over merupakan proses perpindahan kredit nasabah di bank konvensional menjadi pembiayaan dengan prinsip jual beli yang berdasarkan syariah. Pada proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konven-sional. Bertindak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang (yang dikredit-kan) menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian, untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah. Kemudian, bank syariah akan menjual lagi kepada nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 ten-tang Pengalihan Hutang.

Penerapan kontrak hawalah dalam sistem perbankan biasanya di tetapkan pada hal-hal berikut:

  1. Faktoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang dan menagihnya dari pihak ketiga itu.
  2. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar dulu piutang tersebut.
  3. Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja, dalam Bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hawalah. Perbankan syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih mengedepankan rasa tolong menolong, salah satunya yaitu dalam fasilitas take over yang ada di bank Syariah.

Take over yang ada di sini yaitu pengalihan utang dari bank ke bank, yang mana nasabah mempunyai utang ke bank A kemudian mengalihkannya ke bank B, yaitu dengan cara bank B memberikan qardh kepada nasabah dan dengan qardh tersebut nasabah dapat melunasi utang yang ada di bank lama, qardh berupa pinjaman tanpa adanya tambahan karena setiap tambahan mengandung riba. Setelah nasabah melunasi utang yang ada di bank lama nasabah pun terbebas dan tidak mempunyai tanggungan, akan tetapi nasabah mempunyai tanggungan untuk melunasi qardh yang telah diberikan oleh bank B.

Berikut ini Sifat-sifat dari fasilitas pengalihan Al-Hiwalah:

  1. Kebanyakan ulama tidak memperboleh-kan pengambilan manfaat (imbalan) atas pengalihan hutang-piutang tersebut antara lain dengan menguragi jumlah piutang atau menambah jumlah hutang tersebut.
  2. Bank hanya boleh membebankan fee atas jasa penagihan.
  3. Dalam dunia perbankan Hiwalah dapat diterapkan dalam proses “Debt Transfer”.
  4. Mengacu pada pengertian di atas debt transfer dapat di lakukan karena: seandai-nya A berhutang ke C dan B berhutang ke A atas permintaan A dapat melakukan pembayaran ke C. dalam hal ini; A. Dapat dianggap sebagai nasabah, B; Dapat dianggap sebagai bank, C; dapat dianggap sebagai mitra usaha nasabah. Hutang A ke C adalah transaksi yang harus dilunasi akibat bisnis/perdagangan di antara mereka. Hutang B ke A adalah deposit nasabah di bank atas permintaan A, B dapat melakukan pemindah bukuan untuk keuntungan C untuk usaha ini bank dapat mengenakan fee kepada nasabah.

Skema Hiwalah:

Beberapa ketentuan dalam Hiwalah sebagai berikut:

  1. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil adalah gugur. Andaikan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia. Maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jamhur.
  2. Menurut Imam Abu Hanifah kreditur bisa menagih piutangnya kepada debitur terdahulu, apabila yang menerima pemindahan hutang itu meninggal dalam keadaan pailit atau mengingkari pemindahan hutang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI WAKALAH (Pengertian,Dasar Hukum Wakalah ,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Wakalah)

  Nama : Ma’rifah  Kelas : 3E NIM : 63040190181 Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah Makul : Hadist   Menurut saya wakalah adalah peli...