Tampilkan postingan dengan label Dasar Hukum Salam dan istishna'. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dasar Hukum Salam dan istishna'. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Desember 2020

MATERI SALAM DAN ISTISHNA' (Pengertian,Dasar Hukum,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Salam dan Istishna')

Nama : Ma’rifah 

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist 

Menurut saya materi yang disampaikan dari salam dan istishna' adalah sama sama membeli barang hanya saja pembayarannya berbeda. Jika salam adalah di awal sedangkan istishna' di akhir waktu. Dan juga salam adalah membeli suatu barang yang sudah ada bentuk/barang nya dan pembayarannya dilakukan diawal. Contohnya adalah jualan online melalui aplikasi. Sedangkan istishna' adalah membeli atau memesan suatu barang yang belum ada barangnya atau bentuknya. Contohnya adalah memesan suatu barang yang belum ada ditoko atau diproduksi dan kemudian dilakukannya pemesanan dan dibayar pada akhir waktu.

SALAM DAN ISTISHNA'

A. Pengertian Salam

Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli dengan penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati diawal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas  barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu.

Secara bahasa assalam atau assalaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”. Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al- Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam). Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al- Baqarah ayat 282:5 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya...”. Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :  “Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu."

Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.

B. Dasar Hukum Salam

Jual beli salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran di antaranya:

1. Al-Qur'an  

Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

2. Hadist Jual Beli Salam

“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yangmelakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”. (Muslich, 2015:243).

“Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”(Riwayat As Syafi’i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)

Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits Rasulullah saat tiba di Madinah, warganya melakukan salam terhadap hasil tanaman untuk tempo setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka Rasulullah bersabda :

“Barang siapa melakukan salaf atas sesuatu, dalam lafazh lain: atas kurma, maka hendaklah ia mensalaf dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga waktu yang jelas.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan bahwa para ulama telah sepakat (ijma’) atas dibolehkannya salam.

 3. Ijma’

Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.

C. Rukun dan Syarat Salam

Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual beli salam adalah sebagai berikut:

  1. Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
  2. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
  3. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
  4. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
  5. Shigat adalah ijab dan qabul

Syarat – syarat salam

  1. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
  2. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
  3. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu memesan buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
  4. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan, ukuran ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
  5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si penjual dan si pembeli). Begitu juga macamnya, harus juga disebutkan.
  6. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut. Akad salam harus terus, berarti tidak ada khiyar syarat.

D. Teknik Pelaksanaan Salam

Mekanisme Pembiayaan dengan Akad Salam Pararel:

Ada salam jenis lain yaitu salam paralel. Akad ini mengesahkan akad salam yang lain. Pembeli dalam akad salam yang pertama menjadi penjual pada akad salam kedua dengan obyek barang dan ciri-ciri barang yang sama. Akad salam pertama dipersingkat untuk memudahkan akad salam kedua, namun tidak ada kaitan yang saling bergantung di antara kedua akad salam tersebut. Oleh karena itu, pembeli pada akad salam pertama menjadi penjual pada akad salam kedua atau salam paralel tanpa terkait dengan akad salam pertama.

Praktek salam di bank syariah, bank membayar harga barang pada saat akad. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya. Bank kemudian menjual kembali barang tersebut dengan harga yang ditangguhkan lebih tinggi dari harga awal melalui model salam. Maka bank menerima keuntungan.

E. Pengertian Istishna’

Istisna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istilah istisna secar terminalogi adalah transaksi terhadap barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual.

Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama.13

F. Subjek Istishna

  1. Pokok kontrak : Mashnu’, barang ditangguhkan dengan spesifikasi.
  2. Bisa di awal, tangguh, dan di akhir.
  3. Mengikat secara ikutan : Menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

G. Dasar Hukum Istishna

Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barangbarang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual  beli istisna barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak boleh.

Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada . Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar. Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur dalam undang-undang dan fatwa.

1. Al-Quran

Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275) Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkanseperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang meng-ulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

2. As-Sunnah

As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu : Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non- Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

3. Al Ijma’

Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secardefakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al istisna, apakah termasuk akad jual beli atau akad sewa atau akad as-salam.

H. Rukun dan Syarat Istishna’

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
  1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
  2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan
  3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.

Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga  mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.

  1. Modal transaksi ba’i istishna’
    1. Modal harus di ketahui 
    2. Penerimaan pembayaran salam 
  2. Al-muslam fiihi (barang) 
    1. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang 
    2. Harus bisa di identifikasi secara jelas 
    3. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari 
    4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i 
    5. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang 
    6. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain.

I. Dalil Tentang Istishna'

Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan pendapatnya:

Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa hokum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid. 

Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak. Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim) Perbuatan

Dalil ketiga: Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan

Dalil keempat: Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”

Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i Asshanaai’i oleh Al Kasaani 5/3). Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam,yaitu taisir (memudahkan): “Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)

Dalil keenam: Akad istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.

J. Teknik Pelaksanaan Istishna’

Mekanisme Pembiayaan dengan Akad Istisna Pararel: Adapun Paralel istisna adalah bukan Istisna yang umumnya berjalan di tengah masyarakat. Akan tetapi ia merupakan transaksi antara bank (sebagai penjual) dalam kontrak istisna’ yang asli dengan pembuat barang pada pihak yang lain. Produk barang yang dibuatnya adalah mengacu pada ciri-ciri barang yang telah disepakati pada akad pertama, dimana bank pada saat itu adalah sebagai pihak yang meminta untuk dibuatkan. Maka jadilah dua akad ini sebagai akad istisna’ paralel tanpa ada hubungan antara akad pertama dan akad kedua. Posisi bank dalam akad istisna yang pertama, dianggap sebagai penanggung biaya pada istisna paralel, sehingga bank berhak mendapatkan untung. Bank juga berhak menentukan waktu kapan penyerahan barang akan dilakukan. Minimal sama dengan waktu penyelesaian pada akan pertama, ataukan lebih lama pada istisna paralel.

MATERI WAKALAH (Pengertian,Dasar Hukum Wakalah ,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Wakalah)

  Nama : Ma’rifah  Kelas : 3E NIM : 63040190181 Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah Makul : Hadist   Menurut saya wakalah adalah peli...