Nama : Ma’rifah
Kelas : 3E
NIM : 63040190181
Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah
Makul : Hadist
Menurut saya dari materi yang disampaikan mengenai ariyah adalah kegiatan pinjam meminjam dimana dapat diambil manfaatnya oleh orang lain dengan tidak merusak zatnya dan dapat dikembalikan kepada yang punya tanpa menguranginnya atau mengganti. Barang bisa diganti dengan catatan telah melampaui batas atau terjadi kerusakan parah yang dilakukan oleh peminjam. Dan akad pinjam meminjam itu tergantung atau sesuai dengan kesepakatan awal oleh kedua belah pihak antara yang meminjamkan dengan yang meminjam asalkan sesuai dengan syariat islam.
AL-ARIYAH
A. Pengertian Al-Ariyah
Al-Ariyah berasal dari bahasa Arab berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari kata ( و ت ( yang artinya sama dengan ( ول ن ت وب ن ت ( artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Takmilat Fath al-Qadir dan Hasyiah Ibn Abidin, al-Jauhari menjelaskan tentang adanya yang menduga bahwa kata al-Ariyah berasal dari kata Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama. Madzahib Al-Arba'ah. al-'ar yang berarti tercela ('aib) karena meminjam dianggap perbuatan tercela. Namun pendapat ini dibantah para ulama, karena Rasulullah saw. telah melakukanya (hadits fi'liyah). Seandainya meminjam termasuk perbuatan tercela tentu Rasulullah saw. tidak akan melakukannya. Mabsuth bahwa arti al-I'arah secara istilah adalah “Pemindahan kepemilikan manfaat (barang) tanpa imbalan”. Ulama Syafi'iah dan Hanabilah, sebagaimana terdapat dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Kasyaf al-Qina' menjelaskan bahwa yang dimaksud akad al-I'arah secara terminologis adalah “Izin kepada pihak lain untuk mengambil manfaat (benda) tanpa imbalan”.
Adapun perbedaanya antara lain dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan bahwa antara kata al-Tamlik dan kata al-Ibahah memiliki perbedaan yang signifikan dari segi cakupan hukumnya. Kata al-Tamlik menunjukkan bahwa peminjam boleh meminjamkan lagi barang tersebut kepada pihak ketiga (pihak lain) atau bahkan boleh menyewakannya (al-Ijarah). Sedangkan kata al-Ibahah menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh meminjamkan lagi atau menyewakan barang tersebut kepada pihak lain. Barang pinjaman hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam.
B. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
.Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:
- Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman), dengan syarat:
- Inisiatif sendiri bukan paksaan.
- Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang mengalokasikan terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada kecakapan dam mengelola harta.
- Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada barang semisal dengan menyewa bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang dipinjamkan bukan menjadi haaknyamelainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.
- Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman), sengan syarat:
- Tidak ditentukan, maka tidak sah akad „ariyah pada salah satu dari dua musta‟ir yang tidak ditentukan.
- Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalm mengelola harta kecuali melalui wali masing-masing.
- Mu‟ar (barang yang dipinjamkan) dengan syarat:
- Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad „ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan untuk hiasan.
- Musta‟ir dapat mengambil kemanfaatan mu‟ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam kambing pohoj untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad „ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti keledai yang lumpuh
- Manfaat mu‟ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tiddak sah akad „ariyah pada barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti manfaat alat musik.
- Mu‟ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh. Maka tidak sah akad ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang yang dipinjamkan.
Adapun syarat-syarat ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat.
- Syarat-syarat orang yang meminjamkan
- Baligh. „Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetapi ulama‟ hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai syarat „ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
- Berakan. „Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
- Tidak mahjur „alaih karena boros. Maka tidak sah „ariyah yang dilakukan oleh orang yang akan dipinjamkan. Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya karena objek ariyah adalah manfaat, bukan benda.
- Syarat-syarat orang yang meminjam
- Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas (majhul), maka ariyah hukumnya tidak sah.
- Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada‟.
- Syarat-syarat barang yang dipinjam
- Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, hak pada waktu sekarang atau nanti.Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu:
- Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya.
- Manfaat yang diambil dari benda yang dipinjam, seperti susu kambing, buah dari pohon, dan semacamnya. Apabila seseorang meminjam seekor kambing untuk diambil susunya, atau menanam pohon durian untik diambil buahnya, maka dalam hal ini ariyah hukumnya sah menurut pendapat yang mu‟tamad.
- Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambik manfaatnya menurut syara‟. Apabila barang tersebut diharamkan maka ariyah hukumnya tidak sah.
- Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.
- Shigat, dengan syarat:
C. Landasan Hukum tentang Al-‘Ariyah
- Al-Qur‟an
- Q.S Al-Maidah ayat 2. Dalam surat ini dijelaskan bahwa sebagai umat muslim kita harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.Yang Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dantolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allahsangat berat siksaan-Nya.” Apabila seseorang tidak mengembalikan barang peminjaman-nya atau menunda waktu pengembaliannya, maka itu berarti berbuat khianat (tidak amanah), dan berbuat maksiat kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah mendhalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa peminjam telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama. Sebab perbuatan yang semacam itu, bertentangan dengan ajaran Allah swt. Yang mewajibkan seseorang untuk menunaikan amanah dan dilarang berbuat khianat.
- Hadits
- Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'I Artinya : Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bal Ariyah Mu'addah” (tidak, tetapi pinjaman yang akan dikembalikan). Dalam konteks hadits tersebut terdapat dua kata yang menunjukkan arti yang berbeda, yaitu kata madhmunah dan mu'adah. Yang dimaksud dengan madhmunah adalah benda yang dipinjam akan diganti (dibayar) dengan nilainya apabila rusak. Sedangkan yang dimaksud dengan kata mu'adah adalah benda pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan wuhud bendanya secara utuh, tidak diganti dengan nilainya apabila rusak (barang pinjaman diperbaiki terlebih dahulu apabila rusak, bukan diganti dengan barang lain atau dibayar harganya).7
D. Ragam Akad Al-Ariyah
Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat al-Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain:
- Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi), sebagaimana dijelaskan dalam kitab al- Mabsuth adalah akad pinjaman barang yang dapat dimanfaatkan tanpa rusak atau hilang. Menurut ulama Hanafiah, akad i'arah merupakan akad yang membuat berpindahnya barang kepemilikan manfaat (tanpa imbalan) dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (tamlik almanfaat). Sedangkan al-Kurkhi dari ulama Syafi'iah dan Hanabilah dalam kitab Mughni al-Muhtaj, al-Muhadzab, al-Mughi, berpendapat bahwa akad I'arah adalah akad yang mengakibatkan penerima pinjaman boleh memanfaatkan obyek pinjaman (ibahat al-intifa').
- Konsekuensi akad I'arah, menurut ulama Hanafiah adalah bahwa penerima pinjaman, disamping secara langsung berhak memanfaatkan barang pinjaman berhak pula mengalihkan haknya kepada pihak lain dengan cara menyewakannya. Sedangkan ulama Syafi'i & Hanabilah, penerima pinjaman hanya berhak memanfaatkan barang pinjaman untuk dirinya (tidak boleh dialihkan kepada orang lain).
- Alasan ulama Hanafiah adalah bahwa dalam akad I'arah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak, yaitu pemilik barang telah memberikan kuasa penuh (al-Taslith) kepada peminjam untuk memanfaatkan barang pinjaman tersebut, dan pemberian kuasa penuh untuk mengambil manfaat barang pinjaman merupakan pemberian kepemilikan manfaat (tamlik al-manfaah). Konsekuensinya adalah bahwa pinjaman memiliki kebebasan untuk melakukan apapun dalam mengambil manfaat barang pinjaman, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
- Alasan ulama Syafi'iah & Hanablah adalah bahwa akad I'arah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak). Oleh karena itu barang pinjaman hanya dizinkan untuk diambil manfaatnya oleh dirinya sendiri. Dalilnya adalah analogi (qiyas) pada jamuan (al- dhiyafah (al-dhaif); misalnya jamuan makan malam), tamu diberikan izin oleh tuan rumah untuk mengkonsumsi makanan yang teah disajikan, dan tidak boleh (tidak diberikan izin) makanan itu untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain.
- Ulama Hanafiah, Syafi'iah & Hnabilah sepakat bahwa pinjaman tidak boleh menyewakan barang dimaksud kepada orang lain. Alasanya kesepakatan ulama tentang bolehnya akad I'arah tanpa batas waktu (jangka waktu pinjaman barang), sedangkan akad ijarah (sewa) harus jelas jangka waktunya. Disamping itu, akad I'arah termasuk dalam domain akad tabarru' (sosial) dean apabila dialihkan pun harus pada lingkup yang sama. Bentuk pemanfaatan barang pinjaman oleh peminjam, dalam perspektif ulama Syafi'iah dan Hamabilah 17 bersifat terbatas yaitu jenis pemanfaatannya tergantung pada izin dari pemiliknya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa untuk pemanfaatan barang pinjaman bergantung pada bentuk akad pinjaman (al-I'arah) apakah bersifat tidak terbatas (muthlaq) atau terbatas (muqayyad).
Apa yang dimaksud dengan pinjaman tidak terbatas (muthlaq) adalah akad pinjaman tanpa ada pejelasan dan/atau kepastian mengenai apakah barang pinjaman akan digunakan oleh dirinya sendiri, atau pihak lain tanpa ada kesepakatan mengenai cara pemanfaatan barang pinjaman tersebut serta tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman.
Orientasi pinjaman terbatas (muqayyad) antara lain :
- Apabila disepakati bahwa barang pinjaman itu hanya boleh digunakan oleh peminjam, pinjaman hanya boleh menggunakan barang untuk kepentingannya sendiri (peminjam tidak boleh meminjamkannya kepada pihak lain).
- Apabila pemilik barang (yang meminjamkan) menentukan waktu atau tempat penggunaan barang pinjaman, kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.
- Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas maksimun atas barang yang boleh diangkut oleh barang pinjaman (misalnya barang jaminan berupa kendaraan atau kuda) ,kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.
- Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas mengenai kondisi daerah (lokasi) yang (boleh) dapat dilewati atau tempat penyimpanannya (misalnya barang pinjaman tidak boleh digunakan untuk berkunjung ke daerah konflik atau kendaraan yang tidak boleh disimpan selain di garasi pada malam hari), kemudian peminjam melarangnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan ganti rugi apabila terjadi kerusakan dan kehilangan barang pinjaman.8 Sedangkan pinjaman terbatas (muqayyad) adalah akad pinjaman yang disertai kejelasan atau kepastian mengenai apakah pinjaman akan menggunakan barang pinjaman oleh dan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain; adanya kesepakatan mengenai cara pemanfaatkan barang pijaman atau adanya pembatasan waktu dan tempat penggunakan barang pinjaman.
E. Perbedaan antara akad Al-‘Ariyah, Akad Qardh, dan Akad Wadi'ah
- Akad Qardh, disebut juga akad pinjam meminjam. Obyek yang pinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta pemijam dikembalikan/diganti dengan harta yang sejenis (yang sama nilainya).
- Akad Wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli. Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan. Yang wajib dikembalikan kepada penitip (pemilik) adalah harta asal, sebagaimana harta sediakala (tidak diganti dengan benda mitsli lainya).
- Akad Ariyah, disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan (tidak diganti dengan harta yang sejenis).
F. Sifat akad Al-‘Ariyah dengan Tanggung Jawabnya
Persoalan ini para ulama terdapat beragan pendapat, antara lain :
- Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth berpendapat bahwa barang pinjaman merupakan amanah yang berada di bawah kekuasaan peminjam, baik pada saat barang itu dipakai maupun tidak dipakai. Peminjam tidak perlu mengganti atas rusaknya barang pinjaman (al-dhaman), kecuali kerusakan tersebut terjadi karena perbuatan peminjam yang melampui batas (al-ta'adi) dan tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (al-taqshir). Alasanya adalah analogi (qiyas) kepada akad ijarah (sewa) dan akad wadi'ah (titipan), sebagaimana firman al-Qur'an surat al-Rahman ayat 60 yang artinya “....tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”.
- Ulama Malikiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayat Al-Mujtahid dan Hasyiyah al-Dasuki membagi barang pinjaman menjadi dua : Pertama, barang pinjaman yang memungkinkan disembunyikan, seperti pakaian dan perhiasan. Kedua, barang pinjaman yang tidak mungkin disembunyikan, seperti binatang dan kendaraan.Peminjam wajib mengganti barang pinjaman yang rusak masuk kategori/kelompok yang pertama, karena sulit dibuktikan, rusak atau hilangnya barang pinjaman karena kelalaiannya. Sedangkan pinjaman tidak wajib mengganti atas rusak atau hilangnya barang pinjaman yang masuk kategori/kelompok kedua, kecuali hilang atau rusaknya barang pinjaman karena kelalaian. Alasan (dalil) yang digunakan adalah beberapa hadits
- Nabi Muhammad saw. yang dikatakan kepada Sofwan Ibn Umayah, Nabi bersabda yang artinya : “tidak, tetapi pinjaman yang akan dikembalikan” (HR. Sofwan Ibn Umayah).
- Artinya : “Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin ganti pinjaman itu dan orang yang dititipi yang tidak berkhianat juga tidak harus menjamin ganti titipan itu” (HR. Sofwan Ibn Umayah).
- Artinya : “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya” (HR.Sofwan Ibn Umayah).
- Ulama Syafi'iah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Muhadzzab & kitab al- Majmuk, beliau berpendapat bahwa barang pinjaman bersifat dhamanah di tangan peminjam. Oleh karena itu, peminjam wajib bertanggung jawab (pengganti dan mengembali-kan) barang pinjaman yang rusak atau hilang karena pemakaian yang berkelebihan/melampuan batas (al-ta'adi). Sebaliknya, peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang hilang/rusak karena penggunaan yang diizinkan, bahkan peminjam tidak harus bertanggung jawab atas rusak/hilangnya barang karena disewakan atau dipinjamkan (ulang) yang dilakukan atas izin dari pemiliknya. Sesuai dengan hadits Nabi saw. Yang diriwayatkan Shofwan Ibn Umayah, yang artinya “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya”. Oleh karena itu, barang pinjaman wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sehingga peminjam harus menggantinya atau membayar harganya apabila barang pinjaman itu dalan kondisi rusak/hilang atas penggunaan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya (al-ta'adi). Ulama Hanabilah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mughni & kitab al-Qawa'id, beliau berpendapat bahwa akad pinjaman (al-I'arah) bersifat tanggungan (aldhaman) secara mutlak. Oleh karena itu, barang pinjaman wajib mengganti atau membayar harganya apabila barang pinjaman itu dalam kondisi rusak/hilang, baik atas pamaian yang tidak diizinkan maupun pemakaian yang melampui batas. Alasanya hadits Nabi saw. Yang diriwayatkan Shofwan Ibn Umayah, beliau bersabda “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya” dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Hasan Ibn Samurah Ibn Jundab, Rasulullah saw. Bersabda yang artinya : “Orang yang mengambil sesuatu, wajib bertanggung jawab atas apa yang dia ambil hingga dia menerahkan kembali kepada pemiliknya” (HR. Ahmad dari Hasan Ibn Samurah Ibn Jundab).
Kajian tentang tannggung jawab peminjam karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dilengkapi dengan kajian kewajiban peminjam untuk mengganti barang pinjaman yang rusak atau hikang yang bersifat kontraktual (diperjanjikan dalam akad), yaitu bagaimana apabila pemberi pinjaman sepakat bahwa peminjam wajib mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilang barang pinjaman. Para ulama sependapat mengenai hukum syarat penggantian barang pinjaman yang bersifat kontraktual, anatara lain:
- Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab hasyiyah ibn abidin, berpendapat tentang batalnya syarat yang diwajibkan peminjam diwajibkanya mengganti atau membayar harga atas rusak atau hilangnya barang pinjaman karena kedudukan barang pinjaman sama barang titipan.
- Ulama Malikian, dijelaskan dalam kitab Bidayat al-Mujtahid bahwa pelaksanaan penggantian barang pinjaman yang rusak atau hilang (meskipun telah diperjanjikan dalam akad) merupakan penggantian yang tidak mendasar. Artinya, syarat yang dibuat dalam perjanjian merupakan syarat yang harus diabaikan.
- Ulama Syafi'ah & Hanabilah, dijelaskan dalam kitab al-Mughni bahwa mengenai bolehnya mengabaikan syarat penggantian atas rusak atau barang pinjaman dan peminjam boleh melanggar syarat tersebut.
Pada intinya barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut :
- Peminjam secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelan berakhirnya masa pinjaman.
- Lalai dalam menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan.
- Menggunakanya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat al-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.
G. Karakteristik dalam Akad Al-Ariyah
Akad al-Ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' karena dalam akad ini pemilik barang yang dipinjamkan tidak memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam. Karenanya para ulama berbeda pendapat, diantaranya :
- Ulama Hanafiah & Syafi'iah sepakat bahwa akad I'arah boleh dilakukan tanpa batas jangka waktu penggunaan barang jaminan. Konsekuensinya bahwa pihak yang meminjamkan boleh memnita kembali barang pinjaman kepada peminjam kapan saja, baiki akad I'arahnya yang bersifat mutlak muapun bersifat terbatas. Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmidzi, Abu Umamah, & Ibnu Abbas, Rasulullah saw. Bersabda yang artinya : “Pinjaman harus dikembalikan (kepada pemiliknya), Manihah harus dikembalikan kepada pemberinya, utang harus dilunasi, dan pinjamin merupakan pihak yang berhutan” (HR. Abu Daud, at-Turmudzi, Abu Umamah, & Ibn Abbas).
- Ulama Malikiah berpendapat bahwa pemberian pinjaman tidak boleh meminta kembali barang yang pinjamkan, kecuali setelah peminjam mengambil manfaatnya barang pinjaman tersebut. Apabila pinjaman bersifat terbatas (waktu), pihak yang meminjamkan tidak boleh mengambil barang pinjaman sebelum jangka waktunya selesai. Apabila tidak terbatas oleh waktu, maka pemberi pinjaman harus mengikuti jangka waktu yang bersifat umum. al-Dardir dalam kitab al-Syarh al-Kabir, dan kitab Bidayat al-Mujtahid, berpendapat bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pemberi pinjaman boleh meminta kembali barang pinjaman kapan saja.
- Ulama Hanafiah menganalisis pinjaman tanah dari segi sifat akad i'arah terikat (muqayyadah)
atau tidak terikat (muthlaq). Apabila tanah yang dipinjamkan bersifat tidak terikat
(muthlaq), maka pemberi pinjaman dapat mengambil kembali pinjaman kapan saja dan
pinjaman wajib mencabut pohon yang ditanamnya dan/atau meruntuhkan bangunanya
yang didirikan diatasnya.
H. Berakhirnya Akal Al-Ariyah
Akad pinjaman dapat berakhir karena beberapa hal, antara lain :
- Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh),
- Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum,
- Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum),
- Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan. Izin berakhir karena meninggalnya pemberi izin dan/atau penerimanya,
- Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar