MAKALAH
HADIST TENTANG BAGI HASIL (MUDHARABAH,MUSYARAKAH)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadist
Dosen Pengampu: Ahmad Muzakkil, M.Pd.I
Nama Kelompok :
Alvina Roudhotul J. 63040190159
Siti Nur Kholisoh 63040190168
Ma’rifah 63040190181
Zsa Zsa Yustika S. 63040190188
MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat danhidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah Hadist dengan materi Hadist Tentang Bagi Hasil (Mudharabah).
Kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak-pihak yangtelah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Sumber-sumber yang sudah memberikan informasi untuk menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu, yaitu Bapak Ahmad Muzakkil, M.Pd.I. Kami harap makalah ini dapatdigunakan sebagai bahan untuk pembelajaran dan referensi. Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak akan kami terbuka dengan penuh keterbukaan dan senang hati demi sempurnanya makalah ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahan itu datangnya dari manusia. Akhirnya kami hanya dapat berharap agar makalah ini bisa berguna bagi semua pihak. Amin.
Salatiga, 2020
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
A. Mudharabah .............................................................................................................. 2
1. Pengertian mudhabarah…………………………………………….......…. 2
2. Landasan hukum mudhabarah……………………….………………........ 3
3. Macam-macam mudhabarah………………………………………….….. 4
4. Syarat dan rukun mudhabarah…………………………………………..… 7
5. Manfaat mudhabarah…………………………………………………….... 8
B. Sistem bagi hasil mudhabarah…………………………………............…………… 9
C. Musyarakah………………………………………………………….............…….. 131. Pengertian………………………………………………………...……….13
2. Landasan hukum musarakah……………………………………………...14
3. Macam-macam musyarakah………………………………………………14
4. Implementasi musyarakah………………………………………………...15
5. Manfaat dan resiko musyarakah…………………………………………..15
BAB III PENUTUP .........................................................................................................18
A. Kesimpulan ...........................................................................................................18
B. Saran ......................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………....19
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datangKemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba(bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).
Mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak, dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Mudhabarah?
2. Bagaimana landasan hukum hingga manfaat Mudharabah?
3. Bagaimana Teknik pelaksanaan system bagi hasil mudharabah?
4. Apakah pengertian musyarakah?
5. Bagaimana landasan hukum hingga manfaat Musyarakah?
6. Bagaimana Teknik pelaksanaan system bagi hasil musyarakah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Mudhabarah?
2. Untuk mengetahui landasan hukum hingga manfaat Mudharabah?
3. Untuk mengetahui Teknik pelaksanaan system bagi hasil mudharabah?
4. Untuk mengetahui pengertian musyarakah?
5. Untuk menegtahui landasan hukum hingga manfaat Musyarakah?
6. Untuk mengetahui Teknik pelaksanaan system bagi hasil musyarakah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Menurut Ulama Fiqih kerjasama “mudharabah” (perniagaan) sering juga disebut dengan “Qiradh”.[1]Dalam Fiqhus Sunnah juga disebutkan bahwa mudharabah bisa dinamakan dengan qiradh yang artinya memotong. Karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diperdagangkan dengan memperoleh sebagian keuntungan.[2]Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Dalam bidang ekonomi Islam, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Sedangkan secara istilah, mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansialnya hanya ditanggung oleh pengelola dana.[3]
Sedangkan menurut pengertian istilah fiqh al-mudharabah adalah sebagai berikut:
a) Mazhab Hanafi Mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan mata uang tunai yang diserahkan kepada pengelola dengan mendapatkan sebagian dari keuntungannya jika diketahui dari jumlah keuntungannya.
b) Mazhab Syafi'i Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua.
c) Mazhab Hambali Mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[4]
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal apabila kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggunga jawab atas kerugian tersebut.[5]
2. Landasan Hukum Mudharabah
a. Al Qur‟an
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَىِ ٱلَّيْلِ وَنِصْفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orangorang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Muzammil: 20).[6]
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al Jumu’ah: 10)[7]
b. Al Hadits
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ
“Diceritakan kepada kami Hasan bin Ali al-Khallal, diceritakan kepada kami Bisri bin Tsabit al-Bazzar, diceritakan kepada kami Nashr bin al-Qasim dari Abdurrahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)
Berdasarkan hadits diatas, dapat di pahami bahwa praktek karjasama mudharabah di perbolehkan dalam Islam dan terkandung keberkahan atau kemanfaatan di dalamnya.
3. Macam-Macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemiik modal dengan pekerja, para ulama fiqih membagi akad mudharabah menjadi dua bentuk, yaitu:
a) Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah mutlaqah yaitu penyerahan modal tanpa syarat. Pengusaha atau mudharib bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di daerah mana saja yang mereka inginkan. Dalam bank teknik mudharabah mutlaqah adalah kerjasama antara bank bank dengan mudharib atau nasabah yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Hasil keuntungan dari penggunaan dana tersebut dibagi bersama berdasarkan nisbah yang disepakati.[8]
Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah:
1. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
2. Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.
3. Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.
4. Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo skan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
5. Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah[9]
b) Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada usaha tertentu). Pengusaha atau nasabah harus mengikuti syarat-syarat yang dikemukakan oleh pemilik modal, selain dari syarat-syarat yang dikemukakan maka dana shahibul maal tidak diperkenankan untuk dipakai. Dalam teknis perbankan yang dimaksudkan dengan mudharabah muqayyadah adalah akad kerja sama antara shahibul maal dengan bank. Modal yang diterima, dikelola oleh bank untuk diinvestasikan dalam proyek yang sudah ditentukan oleh shahibul maal. Pembagian bagi hasil keuntungan dilakukan sesuai nisbah yang disepakati bersama, diantara pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut.[10]
Jenis mudharabah muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat)
Mudharabah muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat) yaitu pemilik dana (shahibul maal) membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam penglolaan dana seperti misalnya hanya melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.[11]
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu. Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
a. Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
b. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
c. Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya.
d. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.[12]
2) Al Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet
Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet ini merupakan jenis mudharabah dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syaratsyarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.[13]
Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
a) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.
b) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsun kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
c) Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.[14]
4. Syarat dan Rukun Mudharabah
a) Syarat Mudharabah
1. Masing-masing pihak memenuhi persyaratan kecakapan wakalah.
2. Modal (ra’s al-mal) harus jelas jumlahnya, berupa tsaman (harga tukar) tidak berupa barang dagangan, dan harus tunai dan diserahkan seluruhnya kepada pengusaha.
1. Prosentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian seluruh keuntungan milik bersama.
2. Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. Sekalipun demikian pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan pengelolaan modal.
3. Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pekerja atau pengusaha sama sekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaan.[1]
a) Rukun Mudharabah
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha).
2. Obyek mudharabah (modal dan kerja).
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul).
1. Manfaat Mudharabah
1. Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat usaha nasabah meningkat.
2. Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak pernah mengalami negatif spread.
3. Pengembangan pokok pembiayaan disesuaikan dengan cosh flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena keuntungan yang kongkret dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank atau lembaga keuangan konvensional (non bank) akan menagih penerima pembiayaan dalam jumlah bungatetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.[2]
B. Sistem Bagi Hasil Mudharabah
1. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil menurut terminologi asing (inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara istilah profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.[3]
Esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai (profit) keuntungan berdasarkan akumulasi komponen dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan keuntungan (profit) dalam komponen mudharabah. Pihak investor (shohibul maal) menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan. Sedangkan mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil usaha atau pekerjaannya telah dijalankan, dengan catatan apabila kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan (profit).[4] Komitmen dalam menjalankan kerjasama ini dapat dilakukan melalui syarat-syarat persetujuan dari pihak investor, pengabaian terhadap persetujuan yang dibuat investor akan membuat mudharib bertanggung jawab atas segala resiko. Jika mudharib melanggar persetujuan kontrak dan mengalami kerugian dalam usahanya, maka dia harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang dialami.
Dengan demikian, mudharib dapat ditentukan melalui ketentuan dalam kontrak, dimana investor memiliki tanggung jawab yang terbatas, tidak seperti mudharib yang tidak terbatas tanggung jawabnya. Sehingga apabila terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak mudharib hanya tidak mendapat keuntungan, sedang investor harus menanggung resiko kerugian modal tersebut, dengan catatan mudharib dalam menjalankan usahanya sesuai dengan aturan yang telah disetujui oleh mereka, dan tidak menyalah gunakan modal yang dipercayakan kepadanya.[5]
Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shohibul al-maal dan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shohibul al-maal dengan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shohibul al-maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.[6]
2. Perbedaan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
Tabel 1: Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA |
BAGI HASIL |
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan |
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi |
Besarnya persentase didasarkan pada jumlah dana/modal yang dipinjamkan. |
Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. |
Bunnga dapat mengembang/variabel, dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau kondisi ekonomi |
Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masil berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama |
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung atau rugi |
Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Jika usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama |
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan naik berlipat ganda |
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan paningkatan keuntumgan |
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama |
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil |
Sumber: Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah: Konsep dan Praktek di Beberapa Negara.
3. Jenis Pola Bagi Hasil
a. Profit sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil net dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Apabila suatu bank menggunakan sitem profit sharing, kemungkinan yang akan terjadi shahibul maal akan semakin kecil. Kondisi ini akan mempengaruhi keingiinan masyarakat untuk menginvestasikan dananya paka bank syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana piha ketiga secara keseluruhan.
b. Revenue sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pandapatan tersebut. Bank yang menggunakan sistem revenue sharing kemungkinan yang tertjadi adalah tingkan bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan timgkat suku bunga pasar yang berlaku, kondisi ini akan mempengaruhi pemilik dana untuk berinvestasi di bank syariah dan dana pihak ketiga akan meningkat.
4. Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil
1) Faktor Langsung
a. Investment rate, merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
b. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salaah satu metode berikut:
i. Rata-rata saldo minimum bulanan.
ii. Rata-rata total saldo harian. Investment rate dikalikan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan dana aktual yang diindikasikan oleh tingkat FDR bank syariah.
c. Nisbah (profit sharing ratio)
i. Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.
ii. Nisbah antara satu bank dang bank lainnya dapat berbeda.
iii. Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan satu account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh tempo.[7]
2) Faktor Tidak Langsung
a. Penentuan biaya dan pendapatan mudharabah
i. Merupakan pendapatan yang diterima bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya. Pendapatan yang dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.
ii. Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.
b. Kebijakan akuntansi (prinsip dan metode akuntansi)
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapakan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.[8]
5. Ketentuan Bagi Hasil
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana.
b. Dana disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal.
c. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah.
d. Pada akad tabungan berdasarkan mudharabah, nasabah wajib menginvestasikan minimum dana tertentu yang jumlahnyaditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.
e. Nasabah tidak boleh menarik dana diluar kesepakatan.
f. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tebungan atau deposito dengan menggunakan nisabah keuntungan yang menjadi haknya.
g. Bank tidak boleh mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-undangan yang berlaku.[9]
6. Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :
1) Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa.
2) Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
1) Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
2) Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).
C. Musyarakah
1. Pengertian Musyarakah
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui.[10]Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[11]Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.[12]
2. Landasan Hukum Syariah Musyarakah
a. Al-Qur’an
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسْتَغْفَرَ رَبَّهُۥوَخَرَّرَاكِعًاوَأَنَابَ۩
Artinya : “… dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. (Q.S. Shad: 24)
b. Hadist
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.'” (H.R. Abu Dawud)
Dari hadist tersebut dapat dilihat bahwa dalam berserikat penjagaan amanah menjadi penting. Karena Allah akan memberkahi usaha perkongsian yang dilandasi dengan amanah tanpa khianat.
3. Macam-macam Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu:
a. Musyarakah kepemilikan terjadi karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
b. Musyarakah akad terbagi menjadi :
a) Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak.
b) Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
c) Syirkah al-a’mal atau kadang disebut juga dengan musyarakah abdan atau sana’i adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
d) Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.
4. Syarat dan Rukun Musyarakah
Syarat-syarat Akad Musyarakah
1) Pihak yang bermitra harus mengungkapkan izin masing-masing terkait dengan pengelolaan harta musyarakah, yang akan dikelola oleh pihak yang dipercaya untuk mengelolanya.
2) Setiap mitra harus saling percaya antara satu sama lain, karena masing-masing mereka merupakan wakil dari yang lain.
3) Harta musyarakah harus dicampur semuanya agar tidak bisa dibedakan lagi siapa pemiliknya, baik harta itu berupa uang atau pun barang.
Rukun-rukun Akad Musyarakah
1) Aqidani (dua pihak yang berakad)
2) Ijab Qabul (ucapan serah terima yang dilakukan oleh pihak yang berakad)
3) Ma'qud 'alaih (barang yang diakadkan)
5. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah
Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:
1) Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
2) Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
6. Manfaat dan Resiko Musyarakah
Manfaat yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :
1) Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagi.
5) Prinsip bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
1) Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2) lalai dan kesalahan yang disengaja;
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing contract.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing). Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal :
1) Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation).
2) Dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen.
3) Dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen
4) Dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari harapan. Oleh karena itu, saran dan masukan dari pembaca sangat kami harapakan dalam penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membantu dan memberi manfaat untuk pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kajianpustaka.com/2018/02/pengertian-karakteristik-jenis-syarat-bagi-hasil.html
Abdullah Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, Beirut: Daarul Kutub Al „Ilmiah, h. 34(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 3, Riyad: Daarul Muayyad, 1997, h. 220(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 181.(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
Muhammad, Teknik Bagi Hasil Keuntungan pada Bank Syari‟ah, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 37.(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
https://ayahaca.wordpress.com/2011/06/06/34/
https://www.ekituntas.com/2019/04/ketentuan-jenis-syarat-dan-rukun-akad.html
Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143(https://ayahaca.wordpress.com/2011/06/06/34/)
[1] Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Semarang: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 197. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[2] Antonio, Bank..., h. 97.
[3] Muhammad, Tehnik ..., h. 18
[4] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 98. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[5] Ibid., h. 99
[6] Muhammad, Tehnik ..., h. 19.
[7] Antonio, Bank ..., h. 139-140.
[8] Ibid., h. 140.
[9] Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana.
[10]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, op.cit., hlm. 1110.
[11]Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143.
[12]Lewis dan Algaoud, op.cit., hlm. 69.
[13]Makhalul Ilmi SM, op.cit., hlm. 42 dan Muhammad Parmudi, op.cit., hlm. 67-69.
[1] Abdullah Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, Beirut: Daarul Kutub Al „Ilmiah, h. 34
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 3, Riyad: Daarul Muayyad, 1997, h. 220
[3] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 181.
[4] Muhammad, Teknik Bagi Hasil Keuntungan pada Bank Syari‟ah, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 37.
[5] Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 95. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[6] Rifai, Terjemah...,h. 1037-1038.
[7] Ibid., h. 994.
[8] Mansur, Seluk Beluk Ekonomi Islam, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009, h. 83. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[9] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 99-100. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[10] Mansur, Seluk ..., h. 84.
[11] Karim, Bank..., h. 36.
[12] Ibid., h. 100-101.
[13] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ah, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, h. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)
[14] Karim, Bank..., h. 101-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar