Minggu, 29 November 2020

MATERI AL-ARIYAH (Pengertian,Rukun dan Syarat,Landasan Hukum,Ragam Akad,Perbedaan,Sifat Akad,Karakteristik,Berakhirnya AL-Ariyah)

 

Nama : Ma’rifah

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist

Menurut saya dari materi yang disampaikan mengenai ariyah adalah  kegiatan pinjam meminjam dimana dapat diambil manfaatnya oleh orang lain dengan tidak merusak zatnya dan dapat dikembalikan kepada yang punya tanpa menguranginnya atau mengganti. Barang bisa diganti dengan catatan telah melampaui batas atau terjadi kerusakan parah yang dilakukan oleh peminjam. Dan akad pinjam meminjam itu tergantung atau sesuai dengan kesepakatan awal oleh kedua belah pihak antara yang meminjamkan dengan yang meminjam asalkan sesuai dengan syariat islam.

 

 AL-ARIYAH

A. Pengertian Al-Ariyah

Al-Ariyah berasal dari bahasa Arab berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari kata ( و ت ( yang artinya sama dengan ( ول ن ت وب ن ت ( artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Takmilat Fath al-Qadir dan Hasyiah Ibn Abidin, al-Jauhari menjelaskan tentang adanya yang menduga bahwa kata al-Ariyah berasal dari kata Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama. Madzahib Al-Arba'ah. al-'ar yang berarti tercela ('aib) karena meminjam dianggap perbuatan tercela. Namun pendapat ini dibantah para ulama, karena Rasulullah saw. telah melakukanya (hadits fi'liyah). Seandainya meminjam termasuk perbuatan tercela tentu Rasulullah saw. tidak akan melakukannya. Mabsuth bahwa arti al-I'arah secara istilah adalah “Pemindahan kepemilikan manfaat (barang) tanpa imbalan”. Ulama Syafi'iah dan Hanabilah, sebagaimana terdapat dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Kasyaf al-Qina' menjelaskan bahwa yang dimaksud akad al-I'arah secara terminologis adalah “Izin kepada pihak lain untuk mengambil manfaat (benda) tanpa imbalan”.

Adapun perbedaanya antara lain dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan bahwa antara kata al-Tamlik dan kata al-Ibahah memiliki perbedaan yang signifikan dari segi cakupan hukumnya. Kata al-Tamlik menunjukkan bahwa peminjam boleh meminjamkan lagi barang tersebut kepada pihak ketiga (pihak lain) atau bahkan boleh menyewakannya (al-Ijarah). Sedangkan kata al-Ibahah menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh meminjamkan lagi atau menyewakan barang tersebut kepada pihak lain. Barang pinjaman hanya boleh dimanfaatkan oleh peminjam.

B. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

.Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:

  1. Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman), dengan syarat: 
    1. Inisiatif sendiri bukan paksaan.
    2. Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila, budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang mengalokasikan terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada kecakapan dam mengelola harta.
    3. Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai hak pada barang semisal dengan menyewa bukan dengan hasil pinjaman dari orang lain karena manfaat barang yang dipinjamkan bukan menjadi haaknyamelainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya. 
  2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman), sengan syarat: 
    1. Tidak ditentukan, maka tidak sah akad „ariyah pada salah satu dari dua musta‟ir yang tidak ditentukan.
    2. Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak memiliki kecakapan dalm mengelola harta kecuali melalui wali masing-masing. 
  3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan) dengan syarat: 
    1. Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak sah akad „ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan untuk hiasan.
    2. Musta‟ir dapat mengambil kemanfaatan mu‟ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau meminjam kambing pohoj untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad „ariyah pada barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti keledai yang lumpuh
    3. Manfaat mu‟ar adalah manfaat yang diperbolehkan, maka tiddak sah akad „ariyah pada barang yang manfaatnya tidak diperbolehkan seperti manfaat alat musik.
    4. Mu‟ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh. Maka tidak sah akad ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau pada sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang yang dipinjamkan.

Adapun syarat-syarat ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat. 

  1. Syarat-syarat orang yang meminjamkan
    1. Baligh. „Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetapi ulama‟ hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai syarat „ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
    2. Berakan. „Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.
    3. Tidak mahjur „alaih karena boros. Maka tidak sah „ariyah yang dilakukan oleh orang yang akan dipinjamkan. Dalam hal ini tidak perlu memiliki bendanya karena objek ariyah adalah manfaat, bukan benda. 
  2. Syarat-syarat orang yang meminjam   
    1. Orang yang meminjam harus jelas. Apabila peminjam tidak jelas (majhul), maka ariyah hukumnya tidak sah. 
    2. Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada‟. 
  3. Syarat-syarat barang yang dipinjam 
    1. Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, hak pada waktu sekarang atau nanti.Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan. Manfaat yang diperoleh peminjam ada dua macam, yaitu:
      1. Manfaat murni yang bukan benda, seperti menempati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya.
      2. Manfaat yang diambil dari benda yang dipinjam, seperti susu kambing, buah dari pohon, dan semacamnya. Apabila seseorang meminjam seekor kambing untuk diambil susunya, atau menanam pohon durian untik diambil buahnya, maka dalam hal ini ariyah hukumnya sah menurut pendapat yang mu‟tamad. 
    2. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambik manfaatnya menurut syara‟. Apabila barang tersebut diharamkan maka ariyah hukumnya tidak sah. 
    3. Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis. 
  4. Shigat, dengan syarat: 
        Suatu ungkapan yang dapat menujukan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjam kan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku” dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya.

C. Landasan Hukum tentang Al-‘Ariyah

  1. Al-Qur‟an 
    1. Q.S Al-Maidah ayat 2. Dalam surat ini dijelaskan bahwa sebagai umat muslim kita harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.Yang Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dantolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allahsangat berat siksaan-Nya.”  Apabila seseorang tidak mengembalikan barang peminjaman-nya atau menunda waktu pengembaliannya, maka itu berarti berbuat khianat (tidak amanah), dan berbuat maksiat kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah mendhalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa peminjam telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama. Sebab perbuatan yang semacam itu, bertentangan dengan ajaran Allah swt. Yang mewajibkan seseorang untuk menunaikan amanah dan dilarang berbuat khianat.  
  2. Hadits
    1. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'I Artinya : Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bal Ariyah Mu'addah” (tidak, tetapi pinjaman yang akan dikembalikan). Dalam konteks hadits tersebut terdapat dua kata yang menunjukkan arti yang berbeda, yaitu kata madhmunah dan mu'adah. Yang dimaksud dengan madhmunah adalah benda yang dipinjam akan diganti (dibayar) dengan nilainya apabila rusak. Sedangkan yang dimaksud dengan kata mu'adah adalah benda pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan wuhud bendanya secara utuh, tidak diganti dengan nilainya apabila rusak (barang pinjaman diperbaiki terlebih dahulu apabila rusak, bukan diganti dengan barang lain atau dibayar harganya).7

D. Ragam Akad Al-Ariyah

Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat al-Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain:

  1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi), sebagaimana dijelaskan dalam kitab al- Mabsuth adalah akad pinjaman barang yang dapat dimanfaatkan tanpa rusak atau hilang. Menurut ulama Hanafiah, akad i'arah merupakan akad yang membuat berpindahnya barang kepemilikan manfaat (tanpa imbalan) dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (tamlik almanfaat). Sedangkan al-Kurkhi dari ulama Syafi'iah dan Hanabilah dalam kitab Mughni al-Muhtaj, al-Muhadzab, al-Mughi, berpendapat bahwa akad I'arah adalah akad yang mengakibatkan penerima pinjaman boleh memanfaatkan obyek pinjaman (ibahat al-intifa'). 
  2. Konsekuensi akad I'arah, menurut ulama Hanafiah adalah bahwa penerima pinjaman, disamping secara langsung berhak memanfaatkan barang pinjaman berhak pula mengalihkan haknya kepada pihak lain dengan cara menyewakannya. Sedangkan ulama Syafi'i & Hanabilah, penerima pinjaman hanya berhak memanfaatkan barang pinjaman untuk dirinya (tidak boleh dialihkan kepada orang lain). 
  3. Alasan ulama Hanafiah adalah bahwa dalam akad I'arah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak, yaitu pemilik barang telah memberikan kuasa penuh (al-Taslith) kepada peminjam untuk memanfaatkan barang pinjaman tersebut, dan pemberian kuasa penuh untuk mengambil manfaat barang pinjaman merupakan pemberian kepemilikan manfaat (tamlik al-manfaah). Konsekuensinya adalah bahwa pinjaman memiliki kebebasan untuk melakukan apapun dalam mengambil manfaat barang pinjaman, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. 
  4. Alasan ulama Syafi'iah & Hanablah adalah bahwa akad I'arah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak). Oleh karena itu barang pinjaman hanya dizinkan untuk diambil manfaatnya oleh dirinya sendiri. Dalilnya adalah analogi (qiyas) pada jamuan (al- dhiyafah (al-dhaif); misalnya jamuan makan malam), tamu diberikan izin oleh tuan rumah untuk mengkonsumsi makanan yang teah disajikan, dan tidak boleh (tidak diberikan izin) makanan itu untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain. 
  5. Ulama Hanafiah, Syafi'iah & Hnabilah sepakat bahwa pinjaman tidak boleh menyewakan barang dimaksud kepada orang lain. Alasanya kesepakatan ulama tentang bolehnya akad I'arah tanpa batas waktu (jangka waktu pinjaman barang), sedangkan akad ijarah (sewa) harus jelas jangka waktunya. Disamping itu, akad I'arah termasuk dalam domain akad tabarru' (sosial) dean apabila dialihkan pun harus pada lingkup yang sama. Bentuk pemanfaatan barang pinjaman oleh peminjam, dalam perspektif ulama Syafi'iah dan Hamabilah 17 bersifat terbatas yaitu jenis pemanfaatannya tergantung pada izin dari pemiliknya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa untuk pemanfaatan barang pinjaman bergantung pada bentuk akad pinjaman (al-I'arah) apakah bersifat tidak terbatas (muthlaq) atau terbatas (muqayyad).

Apa yang dimaksud dengan pinjaman tidak terbatas (muthlaq) adalah akad pinjaman tanpa ada pejelasan dan/atau kepastian mengenai apakah barang pinjaman akan digunakan oleh dirinya sendiri, atau pihak lain tanpa ada kesepakatan mengenai cara pemanfaatan barang pinjaman tersebut serta tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman.

Orientasi pinjaman terbatas (muqayyad) antara lain :

  1. Apabila disepakati bahwa barang pinjaman itu hanya boleh digunakan oleh peminjam, pinjaman hanya boleh menggunakan barang untuk kepentingannya sendiri (peminjam tidak boleh meminjamkannya kepada pihak lain). 
  2. Apabila pemilik barang (yang meminjamkan) menentukan waktu atau tempat penggunaan barang pinjaman, kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman. 
  3. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas maksimun atas barang yang boleh diangkut oleh barang pinjaman (misalnya barang jaminan berupa kendaraan atau kuda) ,kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman. 
  4. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas mengenai kondisi daerah (lokasi) yang (boleh) dapat dilewati atau tempat penyimpanannya (misalnya barang pinjaman tidak boleh digunakan untuk berkunjung ke daerah konflik atau kendaraan yang tidak boleh disimpan selain di garasi pada malam hari), kemudian peminjam melarangnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan ganti rugi apabila terjadi kerusakan dan kehilangan barang pinjaman.8 Sedangkan pinjaman terbatas (muqayyad) adalah akad pinjaman yang disertai kejelasan atau kepastian mengenai apakah pinjaman akan menggunakan barang pinjaman oleh dan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain; adanya kesepakatan mengenai cara pemanfaatkan barang pijaman atau adanya pembatasan waktu dan tempat penggunakan barang pinjaman.

E. Perbedaan antara akad Al-‘Ariyah, Akad Qardh, dan Akad Wadi'ah

  1. Akad Qardh, disebut juga akad pinjam meminjam. Obyek yang pinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta pemijam dikembalikan/diganti dengan harta yang sejenis (yang sama nilainya). 
  2. Akad Wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli. Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan. Yang wajib dikembalikan kepada penitip (pemilik) adalah harta asal, sebagaimana harta sediakala (tidak diganti dengan benda mitsli lainya).
  3.  Akad Ariyah, disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan (tidak diganti dengan harta yang sejenis).

F. Sifat akad Al-‘Ariyah dengan Tanggung Jawabnya

Persoalan ini para ulama terdapat beragan pendapat, antara lain :

  1. Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth berpendapat bahwa barang pinjaman merupakan amanah yang berada di bawah kekuasaan peminjam, baik pada saat barang itu dipakai maupun tidak dipakai. Peminjam tidak perlu mengganti atas rusaknya barang pinjaman (al-dhaman), kecuali kerusakan tersebut terjadi karena perbuatan peminjam yang melampui batas (al-ta'adi) dan tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (al-taqshir). Alasanya adalah analogi (qiyas) kepada akad ijarah (sewa) dan akad wadi'ah (titipan), sebagaimana firman al-Qur'an surat al-Rahman ayat 60 yang artinya “....tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. 
  2. Ulama Malikiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayat Al-Mujtahid dan Hasyiyah al-Dasuki membagi barang pinjaman menjadi dua : Pertama, barang pinjaman yang memungkinkan disembunyikan, seperti pakaian dan perhiasan. Kedua, barang pinjaman yang tidak mungkin disembunyikan, seperti binatang dan kendaraan.Peminjam wajib mengganti barang pinjaman yang rusak masuk kategori/kelompok yang pertama, karena sulit dibuktikan, rusak atau hilangnya barang pinjaman karena kelalaiannya. Sedangkan pinjaman tidak wajib mengganti atas rusak atau hilangnya barang pinjaman yang masuk kategori/kelompok kedua, kecuali hilang atau rusaknya barang pinjaman karena kelalaian. Alasan (dalil) yang digunakan adalah beberapa hadits 
    1. Nabi Muhammad saw. yang dikatakan kepada Sofwan Ibn Umayah, Nabi bersabda yang artinya : “tidak, tetapi pinjaman yang akan dikembalikan” (HR. Sofwan Ibn Umayah). 
    2. Artinya : “Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin ganti pinjaman itu dan orang yang dititipi yang tidak berkhianat juga tidak harus menjamin ganti titipan itu” (HR. Sofwan Ibn Umayah). 
    3. Artinya : “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya” (HR.Sofwan Ibn Umayah). 
  3. Ulama Syafi'iah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Muhadzzab & kitab al- Majmuk, beliau berpendapat bahwa barang pinjaman bersifat dhamanah di tangan peminjam. Oleh karena itu, peminjam wajib bertanggung jawab (pengganti dan mengembali-kan) barang pinjaman yang rusak atau hilang karena pemakaian yang berkelebihan/melampuan batas (al-ta'adi). Sebaliknya, peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang hilang/rusak karena penggunaan yang diizinkan, bahkan peminjam tidak harus bertanggung jawab atas rusak/hilangnya barang karena disewakan atau dipinjamkan (ulang) yang dilakukan atas izin dari pemiliknya. Sesuai dengan hadits Nabi saw. Yang diriwayatkan Shofwan Ibn Umayah, yang artinya “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya”. Oleh karena itu, barang pinjaman wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sehingga peminjam harus menggantinya atau membayar harganya apabila barang pinjaman itu dalan kondisi rusak/hilang atas penggunaan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya (al-ta'adi). Ulama Hanabilah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mughni & kitab al-Qawa'id, beliau berpendapat bahwa akad pinjaman (al-I'arah) bersifat tanggungan (aldhaman) secara mutlak. Oleh karena itu, barang pinjaman wajib mengganti atau membayar harganya apabila barang pinjaman itu dalam kondisi rusak/hilang, baik atas pamaian yang tidak diizinkan maupun pemakaian yang melampui batas. Alasanya hadits Nabi saw. Yang diriwayatkan Shofwan Ibn Umayah, beliau bersabda “tidak, ini adalah pinjaman yang dijamin gantinya” dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Hasan Ibn Samurah Ibn Jundab, Rasulullah saw. Bersabda yang artinya : “Orang yang mengambil sesuatu, wajib bertanggung jawab atas apa yang dia ambil hingga dia menerahkan kembali kepada pemiliknya” (HR. Ahmad dari Hasan Ibn Samurah Ibn Jundab).

Kajian tentang tannggung jawab peminjam karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dilengkapi dengan kajian kewajiban peminjam untuk mengganti barang pinjaman yang rusak atau hikang yang bersifat kontraktual (diperjanjikan dalam akad), yaitu bagaimana apabila pemberi pinjaman sepakat bahwa peminjam wajib mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilang barang pinjaman. Para ulama sependapat mengenai hukum syarat penggantian barang pinjaman yang bersifat kontraktual, anatara lain:

  1. Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab hasyiyah ibn abidin, berpendapat tentang batalnya syarat yang diwajibkan peminjam diwajibkanya mengganti atau membayar harga atas rusak atau hilangnya barang pinjaman karena kedudukan barang pinjaman sama barang titipan. 
  2. Ulama Malikian, dijelaskan dalam kitab Bidayat al-Mujtahid bahwa pelaksanaan penggantian barang pinjaman yang rusak atau hilang (meskipun telah diperjanjikan dalam akad) merupakan penggantian yang tidak mendasar. Artinya, syarat yang dibuat dalam perjanjian merupakan syarat yang harus diabaikan. 
  3. Ulama Syafi'ah & Hanabilah, dijelaskan dalam kitab al-Mughni bahwa mengenai bolehnya mengabaikan syarat penggantian atas rusak atau barang pinjaman dan peminjam boleh melanggar syarat tersebut.

Pada intinya barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut :

  1. Peminjam secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelan berakhirnya masa pinjaman. 
  2. Lalai dalam menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan. 
  3. Menggunakanya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat al-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.

 G. Karakteristik dalam Akad Al-Ariyah

Akad al-Ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' karena dalam akad ini pemilik barang  yang dipinjamkan tidak memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam. Karenanya para ulama berbeda pendapat, diantaranya :

  1. Ulama Hanafiah & Syafi'iah sepakat bahwa akad I'arah boleh dilakukan tanpa batas jangka waktu penggunaan barang jaminan. Konsekuensinya bahwa pihak yang meminjamkan boleh memnita kembali barang pinjaman kepada peminjam kapan saja, baiki akad I'arahnya yang bersifat mutlak muapun bersifat terbatas. Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmidzi, Abu Umamah, & Ibnu Abbas, Rasulullah saw. Bersabda yang artinya : “Pinjaman harus dikembalikan (kepada pemiliknya), Manihah harus dikembalikan kepada pemberinya, utang harus dilunasi, dan pinjamin merupakan pihak yang berhutan” (HR. Abu Daud, at-Turmudzi, Abu Umamah, & Ibn Abbas). 
  2. Ulama Malikiah berpendapat bahwa pemberian pinjaman tidak boleh meminta kembali barang yang pinjamkan, kecuali setelah peminjam mengambil manfaatnya barang pinjaman tersebut. Apabila pinjaman bersifat terbatas (waktu), pihak yang meminjamkan tidak boleh mengambil barang pinjaman sebelum jangka waktunya selesai. Apabila tidak terbatas oleh waktu, maka pemberi pinjaman harus mengikuti jangka waktu yang bersifat umum. al-Dardir dalam kitab al-Syarh al-Kabir, dan kitab Bidayat al-Mujtahid, berpendapat bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa pemberi pinjaman boleh meminta kembali barang pinjaman kapan saja.
  3.  Ulama Hanafiah menganalisis pinjaman tanah dari segi sifat akad i'arah terikat (muqayyadah) atau tidak terikat (muthlaq). Apabila tanah yang dipinjamkan bersifat tidak terikat (muthlaq), maka pemberi pinjaman dapat mengambil kembali pinjaman kapan saja dan pinjaman wajib mencabut pohon yang ditanamnya dan/atau meruntuhkan bangunanya yang didirikan diatasnya. 

H. Berakhirnya Akal Al-Ariyah

Akad pinjaman dapat berakhir karena beberapa hal, antara lain :

  1. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh), 
  2. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum, 
  3. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum), 
  4. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan. Izin berakhir karena meninggalnya pemberi izin dan/atau penerimanya, 
  5. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.

 

Jumat, 20 November 2020

MATERI Al-QARDH (Pengertian,Landasan Hukum,Syarat dan Rukun,Ketentuan Al-Qardh)

 

Nama      : Ma'rifah

Nim         : 63040190181

Kelas      : 3E

Matkul    : Hadist 

Al-Qardh

A. Pengertian Al-Qardh

    Al-Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha yang sinonimnya qatha'a (قطع) yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).


    Secara istilah, menurut Hanafiah qardh adalah harta yang memiliki kesepadanan yang diberikan untuk ditagih kembali atau dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.Jadi, Al-Qardh adalah pemberian pinjaman kepada orang lain yang dapat ditagih atau dikembalikan segera tanpa mengharapkan imbalan dalam rangka tolong menolong, dengan kata lain uang pinjaman tersebut kembali seperti semula tanpa penambahan ataupun pengurangan dalam pengembalianya. Utang piutang merupakan bentuk Muamalah yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhanya.


B. Landasan Syariah Al-Qardh
 

1. Al-Qur’an

  • QS. Al-Hadid ayat 11

Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)

  • QS. Al-Baqarah ayat 245

Artinya : “Barang siapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245)

2. Hadist

  • Riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Rafi’ r.a yang berbunyi :

Artinya : "Dari Abu Rafi’i (katanya): Sesungguhnya Nabi Saw mengutang dari seseorang anak sapi. Setelah datang pada beliau unta dari unta-unta sedeqah (zakat), lalu beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk melunasi utangnya kepada lelaki itu berupa anak unta tersebut. Kata Abu Rafi’ : tidak saya dapati selain unta yang baik yang berumur enam tahun masuk tujuh tahun (Raba’iyyah). Lalu beliau bersabda : Berilah dia unta yang baik dan besar itu, karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang adalah orang yang paling baik cara melunasi utangnya."


    Hadis ini menjelaskan bahwasannya orang yang paling baik adalah seseorang yang ketika memberikan kelebihan saat membayar utang, dan tanpa ada kesepakatan di awal.

  • Riwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:

Artinya: “Dari Ibn Mas’ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang Muslim memberikan pinjaman kepada orang Muslim lainnya sebanyak dua kali pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.”

     Hadis ini menjelaskan bahwasannya qardl lebih diutamakan dari sedekah karena orang yang berutang adalah orang yang benar-benar membutuhkan.


Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda,” aku melihat pada waktu malam di-isra‟kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.”

 
    Hadits di atas menjelaskan bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan lebih utama daripada orang yang bersedekah. Allah akan lebih banyak melipatgandakan kepada orang yang meminjamkan hartanya di jalan Allah daripada orang yang bersedekah karena seseorang tidak akan meminjamkannya jika dia benar-benar membutuhkannya. Dan juga mengajarkan bahwa tolong-menolong merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam untuk selalu memperhatikan sesama Muslim dan memberikan pertolongan jika seseorang membutuhkannya, yaitu tolong-menolong dalam kebaikan.


  • Riwayat Imam Bukhori, Nabi SAW bersabda:

Artinya : Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu".
     

    Dalam hadis ini Allah memeberikan peringatan kepada orang yang berutang, hendaknya ia meluasi utangnya dengan baik dan melarangnya untuk mengambil harta orang lain (tidak membayar utang).

3. Ijma’
    Umat Islam telah sepakat tentang bolehnya qardh. Dari landasan hukum qardh di atas, kita bisa simpulkan bahwa qard} hukumnya sunnah (dianjurkan) bagi orang yang meminjamkan dan boleh bagi orang yang meminjam.

C. Rukun dan Syarat Al-Qardh

  • Rukun Al-Qardh
  1. Pelaku yang terdiri dari pemberi (muqridh) dan penerima pinjaman (muqtaridh).
  2. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan.
  3.  Ijab kabul atau serah terima
  • Syarat-Syarat Al- Qardh

    Dikutip dari buku karya Imam Mustofa, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad Qard, yaitu:

  1. Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk lain yang dapat menggantikanya, seperti muatah (akad dengan tindakan/saling memberi dan saling mengerti). 
  2. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal, baligh dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat ini, maka qardh sebagai akad tabrau’ (berderma/sosial), maka akad qardh yang dilakukan anak kecil, orang gila, orang bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
  3. Menurut kalangan hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta yang ada padanannya di pasaran, atau padanan nilainya (mitsil), sementara menurut jumhur ulama, harta yang dipinjamkan dalam qard dapat berupa harta apa saja yang dijadikan tanggungan. 
  4. Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan di antara para pihak yang melakukan akad qard.

       Adapaun objek qardh harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Jelas nilai pinjamanya dan waktu pelunasanya.

  1. Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada waktu yang telah disepakati, tidak boleh diperjanjikan akan ada penambahan atas pokok pinjamanya. Namun peminjam diperbolehkan memberikan sumbangan secara sukarela. 
  2. Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan maka waktu peminjaman dapat diperpanjang atau menghapuskan sebagian atau seluruh kewajibanya. Namun jika peminjam lalai maka dapat dikenakan denda. 
  3. Ijab qabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal atau tertulis.


D. Ketentuan-Ketentuan Dalam Al-Qardh 

 
    Berikut ini adalah ketentuan Al-Qardh secara umum menurut (Fatwa DSN No.19/DSN.MUI/IV/2001)

  1. Al-Qardh adalah  pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. 
  2. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. 
  3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
  4. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. 
  5. Nasabah Al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) senang sukarela kepada Lembaga Keuangan Syariah selama tidak diperjanjikan diawal.
  6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibanya pada saat yang telah disepakati dan Lembaga Keuangan Syariah telah memastika ketidak mampunya Lembaga Keuangan Syariah dapat :         
    • Memperpanjang jangka waktu pengembalian atau, 
    • Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibanya

Senin, 16 November 2020

MAKALAH HADIST TENTANG BAGI HASIL (MUDHARABAH,MUSYARAKAH)

 

MAKALAH

HADIST TENTANG BAGI HASIL (MUDHARABAH,MUSYARAKAH)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadist

Dosen Pengampu: Ahmad Muzakkil, M.Pd.I

 

 

 

Nama Kelompok :

Alvina Roudhotul J.                63040190159

Siti Nur Kholisoh                    63040190168

Ma’rifah                                  63040190181

Zsa Zsa Yustika S.                  63040190188

 

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

TAHUN AKADEMIK 2020

 


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat danhidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah Hadist dengan materi Hadist Tentang Bagi Hasil (Mudharabah).

Kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak-pihak yangtelah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Sumber-sumber yang sudah memberikan informasi untuk menyelesaikan makalah ini.

 Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu, yaitu Bapak Ahmad Muzakkil, M.Pd.I. Kami harap makalah ini dapatdigunakan sebagai bahan untuk pembelajaran dan referensi. Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini tentunya banyak kekurangan dan kesalahan.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak akan kami terbuka dengan penuh keterbukaan dan senang hati demi sempurnanya makalah ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahan itu datangnya dari manusia. Akhirnya kami hanya dapat berharap agar makalah ini bisa berguna bagi semua pihak. Amin.

 

Salatiga, 2020

 

Penulis

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  ......................................................................................................  i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................  ii

BAB I PENDAHULUAN  ................................................................................................  1

            A. Latar Belakang ........................................................................................................  1

            B. Rumusan Masalah ...................................................................................................  1

            C. Tujuan Penulisan .....................................................................................................  1

BAB II PEMBAHASAN  ..................................................................................................  2

            A. Mudharabah ..............................................................................................................  2

1.      Pengertian mudhabarah…………………………………………….......….  2

2.      Landasan hukum mudhabarah……………………….………………........  3

3.      Macam-macam mudhabarah………………………………………….…..  4

4.      Syarat dan rukun mudhabarah…………………………………………..… 7

5.      Manfaat mudhabarah…………………………………………………….... 8

            B. Sistem bagi hasil mudhabarah…………………………………............…………… 9

      C. Musyarakah………………………………………………………….............…….. 13

1.      Pengertian………………………………………………………...……….13

2.      Landasan hukum musarakah……………………………………………...14

3.      Macam-macam musyarakah………………………………………………14

4.      Implementasi musyarakah………………………………………………...15

5.      Manfaat dan resiko musyarakah…………………………………………..15

BAB III PENUTUP  .........................................................................................................18

        A. Kesimpulan ...........................................................................................................18

        B. Saran ......................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………....19

 

 

BAB I

PEMBUKAAN

    A. Latar Belakang

Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datangKemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba(bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).

Mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak,  dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

    B. Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian Mudhabarah?

2.      Bagaimana landasan hukum hingga manfaat Mudharabah?

3.      Bagaimana Teknik pelaksanaan system bagi hasil mudharabah?

4.      Apakah pengertian musyarakah?

5.      Bagaimana landasan hukum hingga manfaat Musyarakah?

6.      Bagaimana Teknik pelaksanaan system bagi hasil musyarakah?

    C. Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian Mudhabarah?

2.      Untuk mengetahui landasan hukum hingga manfaat Mudharabah?

3.      Untuk mengetahui Teknik pelaksanaan system bagi hasil mudharabah?

4.      Untuk mengetahui pengertian musyarakah?

5.      Untuk menegtahui landasan hukum hingga manfaat Musyarakah?

6.      Untuk mengetahui Teknik pelaksanaan system bagi hasil musyarakah?

 

BAB II

PEMBAHASAN

    A. Mudharabah

1.      Pengertian Mudharabah

Menurut Ulama Fiqih kerjasama “mudharabah” (perniagaan) sering juga disebut dengan “Qiradh”.[1]Dalam Fiqhus Sunnah juga disebutkan bahwa mudharabah bisa dinamakan dengan qiradh yang artinya memotong. Karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diperdagangkan dengan memperoleh sebagian keuntungan.[2]Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Dalam bidang ekonomi Islam, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Sedangkan secara istilah, mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansialnya hanya ditanggung oleh pengelola dana.[3]

Sedangkan menurut pengertian istilah fiqh al-mudharabah adalah sebagai berikut:

a)      Mazhab Hanafi Mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan mata uang tunai yang diserahkan kepada pengelola dengan mendapatkan sebagian dari keuntungannya jika diketahui dari jumlah keuntungannya.

b)      Mazhab Syafi'i Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua.

c)      Mazhab Hambali Mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[4]

Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal apabila kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggunga jawab atas kerugian tersebut.[5]

2.      Landasan Hukum Mudharabah

a.       Al Qur‟an

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَىِ ٱلَّيْلِ وَنِصْفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌۢ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orangorang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Muzammil: 20).[6]

 

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al Jumu’ah: 10)[7]

b.      Al Hadits

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ

“Diceritakan kepada kami Hasan bin Ali al-Khallal, diceritakan kepada kami Bisri bin Tsabit al-Bazzar, diceritakan kepada kami Nashr bin al-Qasim dari Abdurrahman bin Daud, dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)

Berdasarkan hadits diatas, dapat di pahami bahwa praktek karjasama mudharabah di perbolehkan dalam Islam dan terkandung keberkahan atau kemanfaatan di dalamnya.

3.      Macam-Macam Mudharabah

Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemiik modal dengan pekerja, para ulama fiqih membagi akad mudharabah menjadi dua bentuk, yaitu:

a)      Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah mutlaqah yaitu penyerahan modal tanpa syarat. Pengusaha atau mudharib bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di daerah mana saja yang mereka inginkan. Dalam bank teknik mudharabah mutlaqah adalah kerjasama antara bank bank dengan mudharib atau nasabah yang mempunyai keahlian atau keterampilan untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal. Hasil keuntungan dari penggunaan dana tersebut dibagi bersama berdasarkan nisbah yang disepakati.[8]

Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.

Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah:

1.      Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

2.      Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.

3.      Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.

4.      Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo skan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.

5.      Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah[9]

b)      Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada usaha tertentu). Pengusaha atau nasabah harus mengikuti syarat-syarat yang dikemukakan oleh pemilik modal, selain dari syarat-syarat yang dikemukakan maka dana shahibul maal tidak diperkenankan untuk dipakai. Dalam teknis perbankan yang dimaksudkan dengan mudharabah muqayyadah adalah akad kerja sama antara shahibul maal dengan bank. Modal yang diterima, dikelola oleh bank untuk diinvestasikan dalam proyek yang sudah ditentukan oleh shahibul maal. Pembagian bagi hasil keuntungan dilakukan sesuai nisbah yang disepakati bersama, diantara pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut.[10]

Jenis mudharabah muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

1)      Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat)

Mudharabah muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat) yaitu pemilik dana (shahibul maal) membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam penglolaan dana seperti misalnya hanya melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.[11]

Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu. Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

a.       Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

b.      Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

c.       Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya.

d.      Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.[12]

2)      Al Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet

Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet ini merupakan jenis mudharabah dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syaratsyarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.[13]

 

 

Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

a)      Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.

b)      Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsun kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.

c)      Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.[14]

4.      Syarat dan Rukun Mudharabah

a)      Syarat Mudharabah

1.      Masing-masing pihak memenuhi persyaratan kecakapan wakalah.

2.      Modal (ra’s al-mal) harus jelas jumlahnya, berupa tsaman (harga tukar) tidak berupa barang dagangan, dan harus tunai dan diserahkan seluruhnya kepada pengusaha. 

 

1.      Prosentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian seluruh keuntungan milik bersama.

2.      Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. Sekalipun demikian pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan pengelolaan modal.

3.      Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pekerja atau pengusaha sama sekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaan.[1]

a)      Rukun Mudharabah

1.      Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha).

2.      Obyek mudharabah (modal dan kerja).

3.      Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul).

1.      Manfaat Mudharabah

1.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat usaha nasabah meningkat.

2.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak pernah mengalami negatif spread.

3.      Pengembangan pokok pembiayaan disesuaikan dengan cosh flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.

4.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena keuntungan yang kongkret dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5.      Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank atau lembaga keuangan konvensional (non bank) akan menagih penerima pembiayaan dalam jumlah bungatetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.[2]

    B. Sistem Bagi Hasil Mudharabah

1.      Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil menurut terminologi asing (inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara istilah profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.[3]

Esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai (profit) keuntungan berdasarkan akumulasi komponen dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan keuntungan (profit) dalam komponen mudharabah. Pihak investor (shohibul maal) menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan. Sedangkan mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan dari hasil usaha atau pekerjaannya telah dijalankan, dengan catatan apabila kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan (profit).[4] Komitmen dalam menjalankan kerjasama ini dapat dilakukan melalui syarat-syarat persetujuan dari pihak investor, pengabaian terhadap persetujuan yang dibuat investor akan membuat mudharib bertanggung jawab atas segala resiko. Jika mudharib melanggar persetujuan kontrak dan mengalami kerugian dalam usahanya, maka dia harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang dialami.

Dengan demikian, mudharib dapat ditentukan melalui ketentuan dalam kontrak, dimana investor memiliki tanggung jawab yang terbatas, tidak seperti mudharib yang tidak terbatas tanggung jawabnya. Sehingga apabila terjadi kerugian dalam usaha, maka pihak mudharib hanya tidak mendapat keuntungan, sedang investor harus menanggung resiko kerugian modal tersebut, dengan catatan mudharib dalam menjalankan usahanya sesuai dengan aturan yang telah disetujui oleh mereka, dan tidak menyalah gunakan modal yang dipercayakan kepadanya.[5]

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shohibul al-maal dan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shohibul al-maal dengan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shohibul al-maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.[6]

2.      Perbedaan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil

Tabel 1: Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

BUNGA

BAGI HASIL

Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan

Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

Besarnya persentase didasarkan pada jumlah dana/modal yang dipinjamkan.

Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

Bunnga dapat mengembang/variabel, dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau kondisi ekonomi

Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masil berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung atau rugi

Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Jika usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan naik berlipat ganda

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan paningkatan keuntumgan

Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Sumber: Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah: Konsep dan Praktek di Beberapa Negara.

3.      Jenis Pola Bagi Hasil

a.       Profit sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil net dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Apabila suatu bank menggunakan sitem profit sharing, kemungkinan yang akan terjadi shahibul maal akan semakin kecil. Kondisi ini akan mempengaruhi keingiinan masyarakat untuk menginvestasikan dananya paka bank syariah yang berdampak menurunnya jumlah dana piha ketiga secara keseluruhan.

b.      Revenue sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pandapatan tersebut. Bank yang menggunakan sistem revenue sharing kemungkinan yang tertjadi adalah tingkan bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana akan lebih besar dibandingkan timgkat suku bunga pasar yang berlaku, kondisi ini akan mempengaruhi pemilik dana untuk berinvestasi di bank syariah dan dana pihak ketiga akan meningkat.

4.      Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil

1)      Faktor Langsung

a.       Investment rate, merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.

b.      Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salaah satu metode berikut:

                                                                                            i.            Rata-rata saldo minimum bulanan.

                                                                                          ii.            Rata-rata total saldo harian. Investment rate dikalikan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan dana aktual yang diindikasikan oleh tingkat FDR bank syariah.

c.       Nisbah (profit sharing ratio)

                                                                                            i.            Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.

                                                                                          ii.            Nisbah antara satu bank dang bank lainnya dapat berbeda.

                                                                                        iii.            Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan satu account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh tempo.[7]

2)      Faktor Tidak Langsung

a.       Penentuan biaya dan pendapatan mudharabah

                                                                                            i.            Merupakan pendapatan yang diterima bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya. Pendapatan yang dibagi hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.

                                                                                          ii.            Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.

b.      Kebijakan akuntansi (prinsip dan metode akuntansi)

Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapakan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.[8]

5.      Ketentuan Bagi Hasil

Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a.       Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana.

b.      Dana disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal.

c.       Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah.

d.      Pada akad tabungan berdasarkan mudharabah, nasabah wajib menginvestasikan minimum dana tertentu yang jumlahnyaditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.

e.       Nasabah tidak boleh menarik dana diluar kesepakatan.

f.       Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tebungan atau deposito dengan menggunakan nisabah keuntungan yang menjadi haknya.

g.      Bank tidak boleh mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.

h.      Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-undangan yang berlaku.[9]

6.      Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :

1)      Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa.

2)      Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :

1)      Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;

2)      Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).

 

 

    C. Musyarakah

1.      Pengertian Musyarakah

Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui.[10]Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[11]Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.[12]

2.      Landasan Hukum Syariah Musyarakah

a.       Al-Qur’an

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسْتَغْفَرَ رَبَّهُۥوَخَرَّرَاكِعًاوَأَنَابَ۩

Artinya : “… dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh”. (Q.S. Shad: 24)

b.      Hadist

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.'” (H.R. Abu Dawud)

Dari hadist tersebut dapat dilihat bahwa dalam berserikat penjagaan amanah menjadi penting. Karena Allah akan memberkahi usaha perkongsian yang dilandasi dengan amanah tanpa khianat.

3.      Macam-macam Musyarakah

Musyarakah ada dua jenis, yaitu:

a.       Musyarakah kepemilikan terjadi karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.

b.      Musyarakah akad terbagi menjadi :

a)      Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak.

b)      Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.

c)      Syirkah al-a’mal atau kadang disebut juga dengan musyarakah abdan atau sana’i adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

d)     Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.

4.      Syarat dan Rukun Musyarakah

Syarat-syarat Akad Musyarakah

1)      Pihak yang bermitra harus mengungkapkan izin masing-masing terkait dengan pengelolaan harta musyarakah, yang akan dikelola oleh pihak yang dipercaya untuk mengelolanya.

2)      Setiap mitra harus saling percaya antara satu sama lain, karena masing-masing mereka merupakan wakil dari yang lain.

3)      Harta musyarakah harus dicampur semuanya agar tidak bisa dibedakan lagi siapa pemiliknya, baik harta itu berupa uang atau pun barang.

Rukun-rukun Akad Musyarakah

1)      Aqidani (dua pihak yang berakad)

2)      Ijab Qabul (ucapan serah terima yang dilakukan oleh pihak yang berakad)

3)      Ma'qud 'alaih (barang yang diakadkan)

5.      Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah

Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:

1)      Pembiayaan Proyek

Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

2)      Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

6.      Manfaat dan Resiko Musyarakah

Manfaat yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :

1)      Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

2)      Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

3)      Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

4)      Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagi.

5)      Prinsip bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :

1)      Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

2)      lalai dan kesalahan yang disengaja;

3)      Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :

Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing contract.[13]


BAB III

PENUTUP

    A. Kesimpulan

Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing). Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal :

1)      Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation).

2)      Dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen.

3)      Dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen

4)      Dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib,  sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.

    B. Saran

        Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari harapan. Oleh karena itu, saran dan masukan dari pembaca sangat kami harapakan dalam penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membantu dan memberi manfaat untuk pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

https://www.kajianpustaka.com/2018/02/pengertian-karakteristik-jenis-syarat-bagi-hasil.html

Abdullah Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, Beirut: Daarul Kutub Al „Ilmiah, h. 34(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 3, Riyad: Daarul Muayyad, 1997, h. 220(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 181.(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

Muhammad, Teknik Bagi Hasil Keuntungan pada Bank Syari‟ah, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 37.(http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

https://ayahaca.wordpress.com/2011/06/06/34/

https://www.ekituntas.com/2019/04/ketentuan-jenis-syarat-dan-rukun-akad.html

Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143(https://ayahaca.wordpress.com/2011/06/06/34/)



[1] Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Semarang: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 197. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[2] Antonio, Bank..., h. 97.

[3] Muhammad, Tehnik ..., h. 18

[4] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 98. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[5] Ibid., h. 99

[6] Muhammad, Tehnik ..., h. 19.

[7] Antonio, Bank ..., h. 139-140.

[8] Ibid., h. 140.

[9] Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana.

[10]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, op.cit., hlm. 1110.

[11]Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., hlm. 90. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jilid III, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), penerjemah, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. III, hlm. 143.

[12]Lewis dan Algaoud, op.cit., hlm. 69.

[13]Makhalul Ilmi SM, op.cit., hlm. 42 dan Muhammad Parmudi, op.cit., hlm. 67-69.

 



[1] Abdullah Rahman Al Jaziri, Kitabul Fiqh „alal Madzahibil Arba‟ah, Juz 3, Beirut: Daarul Kutub Al „Ilmiah, h. 34

[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 3, Riyad: Daarul Muayyad, 1997, h. 220

[3] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 181.

[4] Muhammad, Teknik Bagi Hasil Keuntungan pada Bank Syari‟ah, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 37.

[5] Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 95. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[6] Rifai, Terjemah...,h. 1037-1038.

[7] Ibid., h. 994.

[8] Mansur, Seluk Beluk Ekonomi Islam, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009, h. 83. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[9] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 99-100. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[10] Mansur, Seluk ..., h. 84.

[11] Karim, Bank..., h. 36.

[12] Ibid., h. 100-101.

[13] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ah, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, h. (http://eprints.walisongo.ac.id/5962/3/BAB II.pdf)

[14] Karim, Bank..., h. 101-102.

MATERI WAKALAH (Pengertian,Dasar Hukum Wakalah ,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Wakalah)

  Nama : Ma’rifah  Kelas : 3E NIM : 63040190181 Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah Makul : Hadist   Menurut saya wakalah adalah peli...