MAKALAH
MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Fauzi Annur, S.Pd.I., M.Pd.
Disusun oleh:
Alvina Roudhotul Jannah 63040190159
Agung Saputro 63040190167
Ma’rifah 63040190181
Muhammad Dedy Amirullah 63040190194
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN BISNIS SYARIAH KELAS 2E
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah makalah yang berjudul MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN ini dapat selesai dengan tepat waktu. Adapun tujuan pembuatan makalah ini selain menambah wawasan pengetahuan adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Bapak Fauzi Annur, S.Pd.I., M.Pd.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang diperoleh dari buku-buku panduan dan jurnal dari media massa yang berhubungan dengan judul makalah ini. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Dosen atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini, juga pada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan kita. Memang makalah ini jauh dari kata sempurna, maka diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Salatiga, Maret 2020
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….....…………ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………….….1
1.1 LATAR BELAKANG………………………........................…………………………...1
1.2 RUMUSAN MASALAH ………………………………………….....…………………1
1.3 TUJUAN ………………………………………………………………………..………1
BAB II PEMBAHASAN………………………………….…………………………………….….2
2.1 MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN………………………...……………….….2
2.1.1 MANUSIA…………………………………………………………………….2
2.1.2 PENGERTIAN ILMU DAN PENGETAHUAN………………………………7
2.2 KEBANGKITAN KESADARAN MANUSIA AKAN DIRINYA……………………..15
2.3 BERBAGAI MACAM ALIRAN MENGENAI SUMBER ILMU PENGETAHUAN..16
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….………….19
3.1 KESIMPUAN …………………………….....………………..……………………..…19
3.2 SARAN…………………….…………………………………………………………..19
DAFTAR PUSTAKA …………………...………………………………………………………...20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengetahuan berkembang dari masa ingin tahu yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan , namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan kebutuhan kelangsungan hidup ini dan berbagai problem yang menyelimuti kehidupan.
Manusia senantiasa penasaran terhadap cita-cita hidup ini. Yang hendak diraih adalah pengetahuan yang benar, kebenaran hidup itu. Manusia merupakan makhluk yang berakal budi yang selalu ingin mengejar kebenaran. Dengan akal budinya, manusia mampu mengembangkan kemampuan yang spesifik manusiawi yang menyangkut daya cipta rasa maupun karsa. Ketika orang menyaksikan sebuah pantai sebut saja Pantai Pasir Putih, orang akan terheran heran dengan Pasir Putih. Kemegahan itu menggugah perhatian manusia setidaknya ingin mengetahui sesungguhnya apakah hidup itu seperti Pasir? Siapa yang menciptakan Pasir Putih beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta butir serta untuk apa maknanya bagi manusia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian manusia dan ilmu pengetahuan?
2. Apa keterkaitan manusia dan ilmu pengetahuan?
3. Apa saja aliran dalam sumber-sumber ilmu pengetahuan?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu manusia dan ilmu pengetahuan
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara manusia dan ilmu pengetahuan
3. Untuk mengetahui aliran dalam sumber-sumber ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHAS
2.1 MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN
2.1.1 Manusia
A.Makna Menjadi Manusia
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan Berpikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Oleh karena itu sangat wajar apabila berpikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi. Ini berarti bahwa tanpa berpikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.Berpikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berpikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian Allah mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (manusia) merupakan makhluk yang bisa berpikir dan berpengetahuan. Dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan kehidupannya di dunia.
Dalam konteks yang lebih luas, perintah iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al-Qur’an dapat di pahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada manusia untuk berpengetahuan disamping kata yatafakkarun (berpikirlah atau gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al-Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu. Dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia berama l bagi kehidupan. Semua ini pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berpikir.Dengan berpikir manusia mampu mengolah pengetahuan, dan dengan pengolahan tersebut pemikiran manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna. Dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik. Semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia secara positif dan bersifat normatif.
Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan berpikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan berpikirlah, manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Bahkan dengan berpikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.[1]
Untuk memahami lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli :
1. Plato (427 – 348 SM) menegaskan bahwa manusia dapat dilihat secara dualistik, yaitu dari unsur jasad dan unsur jiwa. Jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak. Jiwa mempunyai tiga fungsi kekuatan, yaitu: logystikon (berpikir/rasional); thymoeides (keberanian); dan epithymetikon (keinginan).
2. Aristoteles (384–322 SM) berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, dan yang berbicara berdasarkan akal pikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (zoon politicon/ political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari suatu kampung dan negara.
3. Ibnu Sina (980-1037 M) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan untuk: makan; tumbuh; berkembang biak; mengamati hal-hal yang istimewa; pergerakan di bawah kekuasaan; mengetahui tentang hal-hal yang umum; dan berkehendak secara bebas. Tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, dan hewan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
4. Ibnu Khaldun (1332–1406) memandang manusia sebagai hewan dengan kesanggupan berpikir. Kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemuliaan dan ketinggian manusia di atas makhluk-makhluk lain.
5. Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan: Al-Quwwatul Aqliyah (berpikir/akal); Al-Quwwatul Godhbiyyah (amarah); dan AlQuwwatu Syahwiyah (syahwat).
6. Harold H. Titus (1959) menyatakan: “Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence”.
B. Ciri dan Gerak Pikir Manusia
Begitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui dengan baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan.Orang semacam itu akan sulit berfungsi di masyarakat. Mereka tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya.Kunci untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep adalah hasil dari pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.
Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia adalah tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi konseptual atas kenyataan. Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca berubah, maka pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.Ini menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan dari semua bentuk pikiran kita.
Namun, sayangnya banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka adalah kenyataan. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka adalah kebenaran. Emosi dan segala bentuk perasaan, yang merupakan buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita. Mereka mengalami kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri. Pada titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni ekspresi dan represi. Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk pikiran tersebut dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam lingkaran kekerasan yang lebih besar. Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan rasa sakit yang luar biasa.
C. Kebutuhan Akan Pemahaman Diri Manusia yang Otentik
Manusia adalah sosok yang kompleks dan dinamis.Dinamika manusia inilah yang melahirkan ilmu. Jika dikatakan bahwa ilmu harus personal, pertama- tama hal itu mengatakan bahwa ilmu dan penguasaan atasnya harus menyentuh sisi-sisi keunikan kepribadian manusia. Personalitas mengacu pada kepribadian dan keunikan sebagai pribadi.Di sisi lain, ilmu harus mengabdikan dirinya bagi nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Secara praktis, ilmu harus mengabdi pada kesejahteraan hidup manusia.
1. Manusia sebagai Person (Pribadi)
Sebagai individu, tubuh manusia adalah tubuh manusia. Artinya, nilai kemanusiaan itu membuat tubuh manusia berharga sebagai tubuh manusia. Sebagai individu, tubuh manusia membuat manusia bisa terhitung di antara individu-individu lainnya. Personalitas bagi manusia bukan hanya kodrat yang mendatangkan martabat bagi kemanusiaannya. Personalitas dalam kesadaran diri, kehadiran diri, dan otonomi diri membuat manusia memiliki karakter, “berwajah”, eksistensial, dan memiliki integritas. Personalitas membuat individualitas memiliki bentuknya, wajahnya, karakternya. Sebaliknya, individualitas membuat personalitas bisa dikenali, dipahami, dikomunikasikan.Manusia adalah personalitasnya.[2]
2. Paradoks Personalitas dan Sosialitas (Komunitas)
Paradoks yang terjadi dalam hidup manusia adalah bahwa personalitas manusia memperkuat sosialitasnya. Sebaliknya, sosialitas manusia akan menemukan bentuknya yang otentik kalau personalitas seseorang sudah menemukan kematangan dan kedewasaannya. Paradoks ini sekaligus juga mengandaikan kodrat manusia sebagai makhluk personal dan sekaligus sosial, dan sebaliknya sebagai makhluk sosial sekaligus personal.[3] Paradoks ini di satu sisi mengasumsikan bahwa personalitas tidak membuat seseorang hidup dengan dirinya sendiri. Sesuatu yang bersifat paradoksal bahwa aktualisasi diri seseorang sebagai pribadi justru ditemukan ketika dia “keluar dari dirinya sendiri” dan berjumpa dengan person lainnya.
Aktualisasi diri yang sejati ditemukan dalam sosialisasi dengan pribadi lain. Seseorang yang paranoid atau mengalami sakit mental tertentu, akan mengalami hambatan dalam sosialisasinya dengan pribadi lain. Rendahnya gambaran diri dan ketidakmampuan untuk hidup dalam jati diri yang otentik juga mempersulit perjumpaan dan relasi dengan orang lain. Hal itu kita temukan di dalam sebuah situasi yang saling mengeksploitasi, memanipulasi, dan “memakan” (mirip dengan gambaran homo homini lupus dalam Leviathan karya thomas Hobbes.Akibatnya tentu pada kacaunya kehidupan bermasyarakat secara etis dan manusiawi. Sebaliknya, orang-orang yang matang dan dewasa akan lebih mudah membangun komunikasi dan berelasi secara sehat dengan orang lain. Orang-orang ini memiliki gambaran diri yang sehat dan jati diri yang otentik. Berhadapan, berjumpa, dan berelasi dengan orang semacam ini membuat kita merasa menjadi diri kita sendiri, bertumbuh dalam komunikasi, dan tidak takut mengekspresikan pemikiran-pemikiran yang positif.
2.1.2 Pengertian Ilmu dan Pengetahuan
A. Makna ilmu dan pengetahuan
Pada dasarnya, ilmu dan pengetahuan berhubungan erat dengan kecenderungan manusia untuk mencari kebenaran. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang timbul karena perasaan ketidaktahuan. Kata ‘ilmu’ dalam Bahasa Indonesia, merupakan serapan dari Bahasa Arab. Jika kita merujuk pada literatur arab, maka ilmu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Ilmu adalah pengenalan (ma’rifah) tentang sesuatu beserta sebab-sebab yang mengitarinya.[4]
b) Sebuah keadaan pada seseorang ketika pengetahuan tentang sesuatu tersingkap sejelas-jelasnya. Sebagai kebalikan dari kata jahl (bodoh) yang diterjemahkan sebagai: “Tidak adanya pengetahuan tentang sesuatu.”[5]
c) Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan yang disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah yang umum.[6]
d) Ilmu ialah pengetahuan yang sudah dicoba dan diatur menurut urutan dan arti serta menyeluruh dan sistematis.[7]
Sedangkan dalam Bahasa Inggris, kata ilmu sering disejajarkan dengan Science yang juga serapan dari bahasa latin scio atau scire yang berarti pengetahuan dan aktifitas mengetahui. Sebagai sebuah aktifitas mengetahui maka dirinya membutuhkan proses menerima informasi baik dengan cara mengamati, membaca maupun mendengarkan, juga kegiatan memikirkan atau menalar informasi-informasi. Lebih jauh dari itu, juga ada kegiatan meneliti dan mengkonfirmasi sebuah temuan. Inilah yang disebut dengan ilmu sebagai sebuah aktifitas mengetahui. Sedangkan pengetahuan dalam Bahasa Indonesia maknanya disejajarkan dengan kata knowledge Sedangkan pengetahuan dalam Bahasa Indonesia maknanya disejajarkan dengan kata knowledge dalam Bahasa Inggris. Kata ini sering diartikan sebagai sejumlah informasi yang didapatkan manusia melalui proses pengamatan, pengalaman dan penalaran. Namun demikian, sebagai informasi yang didapatkan dengan cara mengamati dan menalar, pengetahuan tidak memerlukan sebuah kegiatan meneliti dan mengkonfirmasi informasi yang ditemukan. Ia hanya menerima informasi itu apa adanya.
Terkait dengan sebab-sebab yang mengitari sebuah obyek, Ibnu Rusyd mengutip dari Aristoteles bahwasanya obyek sangat terikat erat dengan sebab-sebab yang mengitarinya, sebagai berikut[8]: Sebab-sebab Material (al-Asbāb al-Mādiyyah) yang berkaitan erat dengan bendanya,Sebab-sebab Formal (al-Asbāb al-Shūriyah) yang berkaitan dengan bentuk, Sebab-sebab Efisien (al-Asbāb al-Fā’ilah) yang berkaitan dengan daya guna atau proses, Sebab-sebab Final (al-Asbāb al-Ghāyah) yang berkaitan dengan tujuan.Berdasarkan bentuknya, Ibnu Rusyd membedakan sebab-sebab yang mengitari suatu obyek ilmu menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1) Sebab Empiris (Syāhid) adalah sebab yang bisa dijangkau dengan indera lahir, seperti terbitnya matahari menyebabkan hari menjadi cerah dan panas yang kita namakan siang; dan 2) Sebab Transenden (Ghā`ib), yaitu sebab yang hanya dijangkau dengan rasio, seperti malas yang menyebabkan manusia menjadi bodoh.
|
|
|
Dengan melihat wujud dari obyek ilmu, Ibnu Rusyd membagi ilmu dalam dua macam: 1) Ilmu Partikular, adalah ilmu yang berdasarkan wujud-wujud empiris yang nyata; dan 2) Ilmu Universal, yakni ilmu yang berdasarkan wujud yang bersifat metafisik yang hanya bisa dipahami dalam pikiran. Namun demikian, bukan berarti tidak ada wujudnya sama sekali karena keberadaannya bersifat potensial (maujūdah bi al-quwwah) bukan bersifat aktual (maujūd bi al-fi’l), seperti pengetahuan kita mengenai makhluk halus semacam malaikat, iblis dan roh yang kehadirannya bisa dirasakan tapi tidak bisa dilihat.[9]
Berpikir mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar. Menurut Langeveld (1965) pengetahuan adalah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya.
Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui. Feibleman (1972) menyebutnya sebagai hubungan subjek dan objek (relation between object and subject). Subjek adalah individu(manusia) yang punya kemampuan mengetahui (berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui. Individu merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas yang lain. Hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan tersebut, dan objek pun harus terlibat dalam keadaannya. Subjek merupakan suatu realitas dan demikian juga objek, keduanya berproses dalam suatu interaksi partisipatif. Tanpa semua ini mustahil pengetahuan terjadi.
B. Prinsip-Prinsip Ilmu menurut Ibnu Rusyd
Sebagaimana sebelumnya telah dibahas bahwa Ibnu Rusyd telah membedakan sebab-sebab yang mengitari sebuah obyek Ilmu. Dalam pandangannya tentang pengetahuan ilmiah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwasanya ilmu harus memiliki tiga prinsip, yakni: (1) obyeknya berwujud fisik; (2) berkaitan dengan sebab-sebab empiris yang mengitari; dan (3) merupakan hasil dari analisis yang valid.[10] Sebagaimana telah dibahas di atas bahwasanya ilmu pada dasarnya berkaitan erat dengan dorongan manusia untuk mencari kebenaran sedangkan pendekatan ilmiah adalah salah satu pendekatan tertinggi akal manusia untuk mencari sebuah kebenaran umum (universal truth). Namun demikian, ada beberapa cara lain manusia untuk mendapatkan sebuah kebenaran selain dengan cara ilmiah karena tidak selamanya kebenaran itu didapatkan dengan cara ilmiah. Beberapa sumber kebenaran yang lain itu adalah sebagai berikut: (1) Penemuan kebenaran secara kebetulan; (2) Penemuan kebenaran dengan akal sehat (common sense); (3) Penemuan kebenaran melalui wahyu; (4) Penemuan kebenaran secara intuitif; (5) Penemuan kebenaran secara trial and error; (6) Penemuan kebenaran serara spekulatif; dan (7) Penemuan kebenaran karena kewibawaan.[11]
C.KONSEP ILMU PENGETAHUAN
A. Ilmu Pengetahuan sebagai Proses
Ilmu Pengetahuan secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teleologis. Pemikiran rasional adalah kegiatan pemikiran yang dilakukan secara optimal, yaitu diusahakan secara kritis (terarah pada usaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar), logis (mematuhi kaidah-kaidah 72 logika), serta sistematis (menyusun hasilnya dalam kerangka pemikiran yang konsisten dan koheren).Yang kedua dari kegiatan yang merupakan ilmu ialah sifat kognitif, bertalian dengan hal mengetahui dan pengetahuan.
ilmu pengetahuan juga bercorak teleologis, yakni mengarah pada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Ilmu merupakan aktivitas manusiawi, yang melayani sesuatu tujuan tertentu yang diinginkan oleh setiap ilmuwan. Tujuan ilmu itu dapat bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuwan. Dalam hal ini terjadilah kejamakan dan keanekaan tujuan, karena masing-masing ilmuwan merumuskan sesuatu tujuan yang berbeda satu sama lain. Pendapat-pendapat yang berlainan dari berbagai ilmuwan atau filsuf dapat dikutipkan di bawah ini (The Liang Gie, 1997: 98-106) :
1. Pernyataan Robert Ackermann : Kadang-kadang dikatakan bahwa tujuan ilmu ialah mengendalikan alam, dan kadang-kadang ialah untuk memahami alam.
2. Francis Bacon tujuan sah dan senyatanya dari ilmu-ilmu ialah sumbangan terhadap hidup manusia, yang berupa ciptaan-ciptaan baru dan kekayaan.
3. Pendapat Jacob Bronowski : Tujuan ilmu ialah menemukan apa yang benar mengenai dunia ini. Aktivitas ilmu diarahkan untuk mencari kebenaran, dan ini dinilai berdasar kesesuaiannya terhadap fakta-fakta terkait.
Rangkaian aktivitas pemikiran yang rasional, kognitif dan teleologis untuk menghasilkan pengetahuan,; mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman ;memberikan penjelasan, dan melakukan peramalan, pengendalian, atau penerapan itu dilaksanakan oleh seseorang yang digolongkan sebagai ilmuwan. Setiap ilmuwan yang sejati bertugas melakukan penelitian dan mengembangkan ilmu.[12]
B. Ilmu Pengetahuan sebagai Prosedur
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, serta cara tehnis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Menurut perumusan dalam The World of Science Encyclopedia metode ilmiah pada umumnya diartikan sebagai prosedur yang dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan dalam pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada. Sedangkan dalam Dictionary of Science, metode ilmiah diberikan definisi sebagai tehnik-tehnik dan prosedur-prosedur pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam yang dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan untuk mengolah fakta-fakta, data, dan penafsirannya sesuai dengan asas-asas dan aturanaturan tertentu. [13]
Para ilmuwan dan filsuf memberikan pula berbagai perumusan mengenai pengertian metode ilmiah sebagai berikut (The Liang Gie, 1997: 110-111) :
1. George Kneller menegaskan bahwa metode ilmiah merupakan struktur rasional dari penyelidikan ilmiah yang memuat penyusunan dan pengujian pangkalpangkal duga.
2. Arturo Rosenblueth memberikan definisi metode ilmiah sebagai prosedur dan ukuran yang dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dalam penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus mereka.
3. Horald Titus merumuskan metode ilmiah sebagai proses-proses dan langkah-langkah yang dengan itu ilmu-ilmu memperoleh pengetahuan.
Metode ilmiah meliputi suatu rangkaian langkah yang tertib. Dalam kepustakaan metodologi ilmu tidak ada kesatuan pendapat mengenai jumlah, bentuk, dan urutan langkah yang pasti. Jumlah langkah merentang dari yang paling sederhana (3 langkah) sampai dengan langkahlangkah yang cukup rumit dan terinci (8 langkah).
C. Ilmu Pengetahuan sebagai Produk
Secara sederhana pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial maupun perorangan. Jadi, pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Isi dalam istilah keilmuan disebut fakta (fact). Definisi pengetahuan yang dikemukakan para ahli pada umumnya menunjuk pada fakta-fakta. Misalnya, dalam The International Encyclopedia of Higher Education, pengertian pengetahuan ilmiah (knowledge) dirumuskan sebagai keseluruhan fakta-fakta, kebenaran, asas-asas, dan keterangan yang diperoleh manusia. Sedangkan dalam International Dictionary of Education, pengetahuan didefinisikan sebagai kumpulan fakta-fakta, nilai-nilai, keterangan, dan sebagainya, yang diperoleh manusia melalui penelaahan, ilham atau pengalaman. [14]
Sumber-sumber pengetahuan menurut perumusan dalam buku-buku rujukan di atas ialah terutama penelaahan (study, learning) dan pengalaman (experience). Ilham (intuition) pada manusia juga dapat menjadi sumber dari pengetahuan. Pengetahuan dapat dibedakan dan digolongkan dalam berbagai jenis menurut sesuatu kriteria (ukuran) tertentu.
D. Hakikat Ilmu Pengetahuan
A. Sumber Ilmu Pengetahuan
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu [Pick the date] pengalaman inderawi (empiri) dan dari akal (ratio), sehingga timbul paham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme menyusun teorinya berdasarkan pada empiri. Tokoh-tokoh aliran ini di antaranya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), dan Berkley. Sedangkan rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan rasio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, dan Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran empirisme adalah induksi, sedangkan rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan paham empirisme dan rasionalisme.[15]
B. Batas Batas Ilmu Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan pancaindra itu hanya terbatas pada gejala atau phenomenon (fenomena), sedangkan substansi yang ada di dalamnya yang tidak dapat kita tangkap dengan pancaindra disebut nomenon (nomena). Apa yang dapat kita tangkap dengan pancaindra itu adalah penting, tetapi pengetahuan tidak sampai di situ saja dan harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan pancaindra adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan pancaindra kita, yaitu terdiri dari tiga ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos); 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia (yang dapat kita tangkap dengan pancaindra kita hanyalah manifestasinya, misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain); dan 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
C. Struktur Penyelidikan Ilmu Pengetahuan
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran, dan yang ingin diketahui adalah objek. Di antara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi (pemisahan) yang sangat tajam, namun dapat dijembatani dengan dialektika. Jadi garis demarkasi tersebut sebenarnya tidaklah tajam, karena apabila dikatakan hanya subjek menghadapi objek itu adalah anggapan yang salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga terjadi dialektika. Dalam proses dialektika, ilmu pengetahuan berkembang mengikuti pola relasi dua arah, bersifat timbal-balik, atau dapat disebut korelasi (saling berhubungan atau saling mempengaruhi). Manusia sebagai subjek tidak semata-mata mempengaruhi objek dalam memperoleh pengetahuan, tetapi sekaligus juga terpengaruh olehnya. Objek yang kelihatannya hanya bersifat pasif, mampu menyajikan keterangan dan bukti-bukti otentik (asli) tentang “diri” dan realitasnya “sendiri” di hadapan manusia, sehingga objek tersebut seakan berperan sebagai subjek. Objek memperlihatkan diri sebagai gejalagejala (fenomena), atau “menggejala”, dan manusia menangkap gejalagejala tersebut dengan metode yang dimilikinya, yaitu metode ilmiah yang bersumber dari perpaduan metode empiris dan rasional.
Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat berproses secara objektif, di mana objek-objek dapat diketahui dan diyakini sebagaimana adanya (sebagai gejala-gejala). Ilmu pengetahuan pada Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu prinsipnya merupakan suatu proses yang berupaya menghasilkan pengetahuan-pengetahuan objektif (pengetahuan ilmiah). Upaya ini berlangsung melalui proses dialektika yang melibatkan hubungan interaktif subjek dan objek.
D.Keabsahan Ilmu Pengetahuan
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah atau mengandung kebenaran. Oleh karena itu membahas keabsahan ilmu pengetahuan berarti juga membahas tentang kebenaran. Kebenaran itu adalah nilai (aksiologis) dan merupakan suatu relasi antara gagasan dengan kenyataan. Ilmu pengetahuan pada dasarnya juga bertujuan mengungkapkan kebenaran sebagai suatu nilai yang ingin diwujudkan (dicapai).
Dalam kaitan tersebut terdapat tiga macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
1. Teori Korespondensi, menyatakan bahwa terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
2. Teori Koherensi, menyatakan bahwa terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumusan (pemikiran atau pendapat) yang satu dengan yang lain.
3. Teori Pragmatis, menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap benar adalah yang berguna secara praktis. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatis.[16]
2.2 KEBANGKITAN KESADARAN MANUSIA AKAN DIRINYA
Dalam hidupnya, manusia senantiasa mau mengusahakan hidup yang baik. Kehidupan manusia pada dasarnya terarah kepada apa yang baik.Kehidupan yang baik menjadi cita-cita dan harapan manusia. Untuk mencapai hidup yang baik itu, manusia mengembangkan kehidupannya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mengembangkan cara-cara pemenuhan kehidupan secara lebih efektif, modern, dan efisiensi. Untuk itu diciptakanlah teknologi pertanian, kedokteran, bangunan, dan lain sebagainya. Kodrat hidup manusia yang terarahkan kepada yang baik itu amat nampak dalam sejarah bagaimana manusia memperindah dan mempernyaman (membuat lebih nyaman) bangunan rumah tempat tinggalnya. Rumah bagi manusia bukan sekedar sarang atau liang untuk hidup. Rumah bagi manusia dibangun dengan pemikiran dan pemahaman tertentu. untuk itu, “terciptalah” arsitektur bangunan dengan berbagai macam gaya, seni, dan fungsi. Manusia juga mengembangkan alat-alat kerjanya agar hidupnya semakin dipermudah. Penemuan mesin-mesin mengubah dunia manusia dalam pekerjaan-pekerjaannya. Ini adalah pandangan yang optimistik tentang hidup manusia.
Pandangan optimistik tentang manusia juga didasarkan atas kenyataan bahwa manusia juga mengembangkan cara dan metodenya. Ketika teknologi belum berkembang sedemikian jauh seperti saat ini, hidup manusia ditandai dengan kerumitan. Kerumitan dalam hal transportasi, pekerjaan-pekerjaan kantor, proses pembangunan gedung-gedung bertingkat, informasi jarak jauh, dan lain sebagainya. Perkembangan teknologi sesungguhnya terarah kepada kehidupan yang lebih mudah, dengan cara yang semakin sederhana dan mudah. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya alat-alat komunikasi, telepon seluler, computer, internet, dan lain sebagainya. Jadi, kenyataan bahwa manusia dalam hidupnya mengembangkan perangkat-perangkat teknis untuk mendukung kemudahan dan kemanyanan hidupnya, membuktikan bahwa hidup manusia terarah kepada tujuan. Bahwa tujuan itu memberi kepada manusia suatu arah, orientasi, dan proses perkembangan. Tujuan juga memberikan arah dan orientasi bagi keputusan-keputusan hidup manusia.
Ada suatu abad dalam sejarah pemikiran manusia yang demikian mengagungkan dan mengagumi kemampuan manusia untuk mencapai kemajuan hidupnya. Abad itu demikian optimistik dalam memandang kehidupan manusia. Abad tersebut ditandai oleh kemajuan yang sangat signifikan dalam berbagai penemuan yang membuat hidup manusia lebih sehat, lebih maju, lebih sejahtera, lebih baik. Jaman ini disebut dengan jaman Pencerahan, Renaisans (Renaissance)2 Renaissance dari akar katanya ri-nascere berarti “kelahiran kembali”.Kelahiran kembali dari apa maksudnya? Yaitu, semacam “kelahiran kembali” manusia. Selama berabad-abad sebelumnya, hidup manusia dikuasai oleh berbagai bentuk mitologis, nuansa religius yang dikuasai oleh doktrin-doktrin dan lembaga agama. Bahkan, dalam soal berpikir pun manusia mengalami belenggu kekuasaan agama dan kaum bangsawan. Jaman Pencerahan dipahami sebagai jaman di mana manusia mengalami optimismenya sebagai manusia yang berkemampuan intelektual, berakal budi, bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan hidupnya sebagai manusia. Pada masanya, jaman Pencerahan ditandai oleh optimisme manusia secara luar biasa.Ada semacam perasaan umum bahwa kemajuan hidup berada di tangan manusia. Jaman ini juga sekaligus menandai manusia sebagai pusat pemikiran dan pusat diskursus tentang berbagai segi kehidupan. Kesadaran akan kemanusiaan terus berkembang dalam berbagai segi: seni, arsitektur, kedokteran, dan berbagai bentuk kebudayaan moderen. Jadi ada semacam gerakan kesadaran akan kekayaan dimensi dan makna kehidupan manusia. Oleh karena itu, abad Pencerahan ini ditandai juga oleh sebuah gerakan yang disebut dengan humanisme.
2.3 BERBAGAI MACAM ALIRAN MENGENAI SUMBER-SUMBER ILMU PENGETAHUAN
1. Empirisme Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun melalui pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alam menurut kaum empiris adalah konkret dan bisa ditangkap panca indera manusia. Gejala-gejala alam itu jika dipelajari manusia akan menciptakan sebuah temuan-temuan dan pengetahuan baru baginya. Sebagaimana sebuah benda padat yang jika dipanaskan akan memuai dan jika didinginkan akan menyusut. Jika langit mendung pertanda akan hujan, api dapat membuat air mendidih dan sebagainya. Pengamatan-pengamatan terhadap fenomena alam tersebut akan membuat pengetahuan baru.[17]
Kelemahan-kelemahan dari pendapat aliran empirisme ini adalah bahwa kumpulan pengetahuan yang didapatkan akan hanya menjadi kumpulan fakta yang terisolasi. Suatu kumpulan fakta atau keterkaitan beberapa fakta tidak akan menjadi sebuah pengetahuan yang sistematis.[18]
2. Rasionalisme ,Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima, serta bukan ciptaan pikiran manusia. Eksistensinya sudah ada bahkan sebelum manusia berusaha memikirkannya.[19] Menurut aliran ini, pikiran manusia hanya berfungsi untuk mengenali prinsip tersebut dengan menggunakan kemampuan (potensi) berpikir rasionalnya. Dalam anggapan aliran ini, pengalaman tidak mampu memberikan apa-apa. Sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip-prinsip yang didapat melalui penalaran rasional maka alam sekitar kita akan dapat dimengerti. Namun demikian, sebagaimana empirisme, aliran ini juga memiliki beberapa permasalahan. Masalah utama yang harus dihadapi penganut aliran ini adalah mengenai kriteria untuk menilai akan kebenaran dari suatu ide, bisa saja terjadi perbedaan antara dua orang pada ide yang sama. [20]
3. Intuisi , Tidak seperti empirisme dan rasionalisme yang merupakan produk dari penalaran, intuisi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang tidak melalui proses berpikir. Ia datang tanpa diundang dan dilontarkan seketika oleh seseorang. Seseorang yang sedang berkonsentrasi memikirkan sesuatu tiba-tiba teringat akan jawaban pertanyaan pikirannya yang kemarin. Tanpa melalui pemikiran yang berliku tiba-tiba ia sudah menemukan jawabannya.[21] Selain itu, bisa saja intuisi ini bekerja atau datang ketika seseorang tidak sepenuhnya sadar. Artinya, jawaban mengenai suatu permasalahan datang ketika orang tersebut tidak berusaha untuk menggeluti atau memecahkannya. Intuisi ini bersifat personal dan datang tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar dari sebuah kebenaran universal maka intuisi ini menjadi tidak bisa untuk diandalkan. Namun demikian, ia dapat membantu penelitian ilmiah dengan digunakan sebagai hipotesis. Penggabungan antara kegiatan intuitif dan analitis (penalaran) akan bisa saling membantu dalam pencarian kebenaran (universal truth).
4. Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini tidak disampaikan kepada semua manusia. Hanya manusia-manusia pilihan yang diberi, yaitu Nabi dan atau Rasul. Agama, sebagai sebuah pengetahuan (kebenaran) yang bersumber dari wahyu Tuhan bukan saja sebagai sumber pengetahuan indrawi dan hanya untuk saat ini, melainkan juga memuat pengeta- huan-pengetahuan ghaib dan peristiwa-peristiwa yang akan datang. Oleh karenanya dikatakan, mengapa agama masih tetap bertahan sampai sekarang? Jawabannya adalah karena agama dapat memberikan manusia harapan.[22]Berbeda dengan pengetahuan ilmiah yang berangkat dari sebuah keraguan dan meragukan, wahyu menjadikan keyakinan sebagai awal tempat beranjaknya. Penge- tahuan akan wahyu berangkat dari kepercayaan bahwa Tuhan adalah sumber pengetahuan. Sedangkan kepercayaan akan Nabi dan Rasul sebagai penyampai pesan dan wahyu sebagai cara penyampaian merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini.[23]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Manusia adalah sosok yang kompleks dan dinamis. Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berpikir. Dengan Berpikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas berpikir. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang timbul karena perasaan ketidaktahuan. Berpikir mensyaratkan adanya pengetahuan (knowledge) atau sesuatu yang diketahui agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar.
Menurut Langeveld (1965) pengetahuan adalah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Suatu kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui. Feibleman (1972) menyebutnya sebagai hubungan subjek dan objek (relation between object and subject). Hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan tersebut, dan objek pun harus terlibat dalam keadaannya.
3.2 SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Sebagai mahasiswa kita harus mengembangkan ilmu yang kita peroleh dan mencari kebenaran ilmu itu semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, akhir kata kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Karena itu saya sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami selanjutnya. Atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Charris Zubair. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta. LESFI, 2002.
Beerling, dkk., 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu …; Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju Nilai. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006)
Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius.
Moh. Nazir. Metode Penelitian. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005) 5
[1] Achmad Charris Zubair. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta. LESFI, 2002.
[2] Bdk. Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.Cit., hal. 196. Bdk juga Frederick Copleston, S.J., A History of Philosophy, Volume III: Modern Philosophy, Image Books, Doubleday, New York, 1994, 300.
[3] Bdk. Emanuel Prasetyono, Op.Cit., 171.
[4] M. Ibn Rusyd, al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah fī ‘Aqāid al-Millah, (Alexandria: Markaz Dirāsat al- Islāmiyyah, 1988)
[5] Abdul Hamid Hakim, al-Mabādi` al-Awwaliyyah, (Jakarta: Saadiyah Putra, 1927)
[6] Moh. Nazir. Metode Penelitian. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005) 5
[7] Ibid
[8] M. Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut (Vol. II). (Kairo: Dar Al-Ma'ārif, 1963)
[9] Ibnu Rusyd. Tahafut At-Tahafut…
[10] Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut…
[11] Moh Nazir, Metode Penelitian…
[12] Beerling, dkk., 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[13] Beerling, dkk., 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[14] Beerling, dkk., 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[15] A. Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius.
[16] A. Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.; Moh. Nazir, Metodologi Penelitian…
[22] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu …; Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju Nilai. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006)
[23] Suriasumantri, Filsafat Ilmu …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar