Nama : Ma’rifah
Kelas : 3E
NIM : 63040190181
Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah
Makul : Hadist
Menurut saya materi yang disampaikan dari salam dan istishna' adalah sama sama membeli barang hanya saja pembayarannya berbeda. Jika salam adalah di awal sedangkan istishna' di akhir waktu. Dan juga salam adalah membeli suatu barang yang sudah ada bentuk/barang nya dan pembayarannya dilakukan diawal. Contohnya adalah jualan online melalui aplikasi. Sedangkan istishna' adalah membeli atau memesan suatu barang yang belum ada barangnya atau bentuknya. Contohnya adalah memesan suatu barang yang belum ada ditoko atau diproduksi dan kemudian dilakukannya pemesanan dan dibayar pada akhir waktu.
SALAM DAN ISTISHNA'
A. Pengertian Salam
Jual beli salam adalah akad jual
beli barang pesanan diantara pembeli jual beli salam adalah akad jual beli
barang pesanan diantara pembeli dengan penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan
harus sudah disepakati diawal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka
secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad
atas barang pesanan dengan spesifikasi
tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran
dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam
adalah akad jual beli dimana modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di
muka) dan objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu.
Secara bahasa assalam atau
assalaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan:
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang)
yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari”. Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam)
menamainya dengan Al- Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam
jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada
ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran
terlebih dahulu.
Dalam perjanjian As-Salam ini
pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut
Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut
Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang
diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam). Adapun
yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang
didahulukan ini disandarkan pada surat Al- Baqarah ayat 282:5 “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya...”. Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi : “Siapa yang melakukan salaf, hendaklah
melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai
dengan batas waktu tertentu."
Dari ketentuan hukum diatas, jelas
terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Pembiayan salam
diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkebunan,
dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal
awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan
dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali.
Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil
manfaat tersebut.
B. Dasar Hukum Salam
Jual beli salam merupakan akad
jual beli yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Alquran di antaranya:
1. Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
2. Hadist Jual Beli Salam
“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika
Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada
buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda:
Siapa yangmelakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”. (Muslich, 2015:243).
“Saya bersaksi bahwa jual-beli As
Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan
Allah dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”(Riwayat As Syafi’i, At Thobary, Abdurrazzaq,
Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
Diantara dalil disyari’atkannya
salam ialah hadits Rasulullah saat tiba di Madinah, warganya melakukan salam
terhadap hasil tanaman untuk tempo setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka
Rasulullah bersabda :
“Barang siapa melakukan salaf
atas sesuatu, dalam lafazh lain: atas kurma, maka hendaklah ia mensalaf dalam
takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga waktu yang jelas.” Diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim.Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan bahwa
para ulama telah sepakat (ijma’) atas dibolehkannya salam.
3. Ijma’
Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan
bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan
bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena
terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan
pertanian, perkebunan ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk
mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam
diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara
jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.
C. Rukun dan Syarat Salam
Menurut Sulaiman Rasjid dalam
bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual beli salam adalah sebagai berikut:
- Muslam (pembeli) adalah pihak
yang membutuhkan dan memesan barang.
- Muslam ilaih (penjual) adalah
pihak yang memasok barang pesanan.
- Modal atau uang. Ada pula yang
menyebut harga (tsaman).
- Muslan fiih adalah barang yang
dijual belikan.
- Shigat adalah ijab dan qabul
Syarat – syarat salam
- Uangnya hendaklah dibayar di tempat
akad. Berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
- Barangnya menjadi hutang bagi
si penjual.
- Barangnya dapat diberikan
sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan barang itu
harus sudah ada. Oleh sebab itu memesan buah-buahan yang waktunya ditentukan
bukan pada musimnya tidak sah.
- Barang tersebut hendaklah
jelas ukurannya, baik takaran, timbangan, ukuran ataupun bilangannya, menurut
kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
- Diketahui dan disebutkan
sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu berarti harga dan kemauan orang pada
barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak
ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si
penjual dan si pembeli). Begitu juga macamnya, harus juga disebutkan.
- Disebutkan tempat menerimanya,
kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut. Akad salam harus
terus, berarti tidak ada khiyar syarat.
D. Teknik Pelaksanaan Salam
Mekanisme Pembiayaan dengan Akad
Salam Pararel:
Ada salam jenis lain yaitu salam
paralel. Akad ini mengesahkan akad salam yang lain. Pembeli dalam akad salam
yang pertama menjadi penjual pada akad salam kedua dengan obyek barang dan
ciri-ciri barang yang sama. Akad salam pertama dipersingkat untuk memudahkan
akad salam kedua, namun tidak ada kaitan yang saling bergantung di antara kedua
akad salam tersebut. Oleh karena itu, pembeli pada akad salam pertama menjadi
penjual pada akad salam kedua atau salam paralel tanpa terkait dengan akad
salam pertama.
Praktek salam di bank syariah,
bank membayar harga barang pada saat akad. Bank kemudian akan menerimanya pada
waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya. Bank kemudian menjual
kembali barang tersebut dengan harga yang ditangguhkan lebih tinggi dari harga
awal melalui model salam. Maka bank menerima keuntungan.
E. Pengertian Istishna’
Istisna secara etimologi adalah
masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta
kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istilah istisna secar
terminalogi adalah transaksi terhadap barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan
untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan
pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan
penjual.
Istisna adalah akad jual beli
dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna
adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan
spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen
untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah
selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang
telah disepakati bersama.13
F. Subjek Istishna
- Pokok kontrak : Mashnu’, barang
ditangguhkan dengan spesifikasi.
- Bisa di awal, tangguh, dan di
akhir.
- Mengikat secara ikutan : Menjadi
pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh
konsumen secara tidak bertanggung jawab.
G. Dasar Hukum Istishna
Sebagai dasar hukum jual beli
istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada
jual beli salam. Pada jual beli salam barangbarang yang dibeli sudah ada, tetapi
belum ada ditempat. Pada jual beli
istisna barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar
ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu
tidak boleh.
Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa
qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan
jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh
Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada
pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan
yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja,
bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad
semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh
masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad
berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad
salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada .
Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar. Akad istisna adalah akad
yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah
dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur dalam undang-undang dan fatwa.
1. Al-Quran
Pembiayaan istishna di atur dalam
Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275) Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkanseperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang meng-ulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya” Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.
2. As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan
istishna yaitu : Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat
kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non- Arab
tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR.
Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata
bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.Sebagian ulama menyatakan
bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus
(ijma‟) bahwa akad istishna‟adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan
sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
3. Al Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada
dasarnya umat Islam secardefakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’)
bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak
dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. Para ulama berbeda pendapat
di dalam menyikapi al istisna, apakah termasuk akad jual beli atau akad sewa
atau akad as-salam.
H. Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun dari akad Istishna’ yang
harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :- Pelaku akad, mustasni’
(pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’
(penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
- Objek akad, yaitu barang atau
jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan
- Shighah, yaitu ijab dan qobul.
Di samping segenap rukun harus
terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada
masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun
terpenting, yaitu modal dan barang.
- Modal transaksi ba’i istishna’
- Modal harus di ketahui
- Penerimaan pembayaran salam
- Al-muslam fiihi (barang)
- Harus spesifik dan dapat diakui
sebagai utang
- Harus bisa di identifikasi
secara jelas
- Penyerahan barang harus di
lakukan di kemudian hari
- Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan
barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i
- Boleh menentukan tanggal waktu di
masa yang akan datang untuk penyerahan barang
- Tempat penyerahanpenggantian
muslam fiihi dengan barang lain.
I. Dalil Tentang Istishna'
Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan
dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil
yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya
para ulama’ menyatakan bahwa hokum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali
yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil
kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin
dari perak. Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non
arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan
cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku
dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim) Perbuatan
Dalil ketiga: Sebagian ulama’
menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias
merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan
telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun
yang mengingkarinya. Dengan
Dalil keempat: Para ulama’ di
sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan
kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“Hukum asal dalam segala hal
adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”
Dalil kelima: Logika; banyak dari
masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial,
dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan
ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu
untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak
dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu
kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu
kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i Asshanaai’i oleh Al Kasaani 5/3). Alasan
ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam,yaitu taisir
(memudahkan): “Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)
Dalil keenam: Akad istishna’
dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung
unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan
kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan
keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah
sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.
J. Teknik Pelaksanaan Istishna’
Mekanisme Pembiayaan dengan Akad
Istisna Pararel: Adapun Paralel istisna adalah bukan Istisna yang umumnya
berjalan di tengah masyarakat. Akan tetapi ia merupakan transaksi antara bank
(sebagai penjual) dalam kontrak istisna’ yang asli dengan pembuat barang pada
pihak yang lain. Produk barang yang dibuatnya adalah mengacu pada ciri-ciri
barang yang telah disepakati pada akad pertama, dimana bank pada saat itu
adalah sebagai pihak yang meminta untuk dibuatkan. Maka jadilah dua akad ini
sebagai akad istisna’ paralel tanpa ada hubungan antara akad pertama dan akad
kedua. Posisi bank dalam akad istisna yang pertama, dianggap sebagai penanggung
biaya pada istisna paralel, sehingga bank berhak mendapatkan untung. Bank juga
berhak menentukan waktu kapan penyerahan barang akan dilakukan. Minimal sama
dengan waktu penyelesaian pada akan pertama, ataukan lebih lama pada istisna
paralel.