Kamis, 24 Desember 2020

MATERI Al- SHARF (Pengertian,Dasar hukum,Rukun dan Syarat ,Batasan-batasan,Dampak Al- sharf)

 

Nama : Ma’rifah 

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist 

Menurut saya, Al-sharf adalah tentang transaksi jual beli valuta dengan valuta asing atau mata uang asing atau antara barang sejenis atau tidak sejenis. Yang dimana pada prinsipnya jual beli mata uang asing sejalan dengan prinsip sharf. Dan transaksinya tidak mengandung riba. Dan juga memiliki beberapa syarat yaitu  Valuta yang jika sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang sama tetapi jika tidak sejenis pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar,Waktu penyerahan dilakukan sesuai kesepakatan awal,diberikan dengan jumlah penukaran yang sama, dan tidak mengandung syarat. Contoh sederhana dari Al-sharf adalah jika sejenis seperti emas dengan emas asalkan memiliki jumlah yang sama satu gram satu gram ataupun lebih. Jika tidak sejenis seperti emas dengan beras asalkan atau yang terpenting dengn jumlh yang sama dari keduanya.

AL-SHARF

A.    Pengertian A[-sharf

Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran atau transaksi jual beli. Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta asing.

Adapun definisi para ulama sebagai berikut :

a.       Menurut istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti memperjualbelikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.

b.      Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.

c.       Menurut Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut prinsip- prinsip Sharf yang dibenarkan secara syari'ah.

d.      Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang. Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain

B.     Dasar Hukum Ash-Sharf

1.      Menurut Al-quran

Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al- Baqarah ayat 275, yaitu:“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”

2.      Menurut Al-Hadis

Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada sejumlah hadis Nabi yang antara lain pendapat :

a.       Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.”

b.      Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas dengan emas setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding” (H.R Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

c.       Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, ''(Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba, kecuali yang berlainan warnanya” (H.R Muslim)

d.      Dari Abu Bakrah r.a Nabi SAW. ''Melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak kami pula” (H.R Bukhari-Muslim.)

3.      Menurut Ijma

Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :

1.      Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.

2.      Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.

3.      Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B harus ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.

4.      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.

5.      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan.

C.    Rukun dan Syarat Al-Sharf

Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :

1.      Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta

2.      Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar)

3.      Shighah yaitu ijab dan qabul

Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu :

1.      Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar.

2.      Waktu penyerahan (spot).

3.      Al-Tamatsul (Sama rata)

4.      Tidak mengandung akad khiyar syarat

D.    Batasan-batasan dilakukanya Al-Sharf

1.      Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.

2.      Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.

3.      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak milik (bai’ ainiah)   

E.     Al-Sharf Yang di Perbolehkan dan yang diLarang

Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syari’ah, antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan valas harus memperhatikan batasan sebagai berikut :

1.      Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.

2.      Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hal kepemilikan.

3.      Penukaran harta atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara kedua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.

4.      Rukun dan syarat jual beli harus sempurna jika tidak maka dianggap batal.

5.      Serah-terima dilakukan secara langsung dan tunai.

F.      Dampak Al-Sharf Bagi Suatu Negara

Islam mengakui perubahan nilai mata uang asing dari waktu kewaktu secara sunnatullah (mekanisme pasar). Bila perubahan itu terlalu tinggi, maka campur tangan pemerintah diperlukan untuk menjaga kestabilitas mata uang, karena Islam menginginkan terciptanya stabilitas kurs mata uang. Transaksi jual beli valuta asing pada umumnya diselenggarakan dipasar valuta asing, money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, anta lain menimbulkan ketidak stabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena para spekulah sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam. Bila nilai mata uang anjlok, maka secara otomatis, rusaklah suatu negara tersebut dengan ditandai dengan naiknnya harga barang-barang atau terjadinya inflasi secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan dalam ekonomi Islam. Akibat lainnya adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering menimbulkan PHK dimana-mana. Demikian pula, suku bunga pinjaman perbankan menjadi tinggi. APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan dolar. Defisit APBN pun semakin membengkak secara tajam. Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh permintaan spekulasi dan mata uang yang berfluktuasi secara liar, amat dilarang dalam Islam.

Kamis, 17 Desember 2020

MATERI SALAM DAN ISTISHNA' (Pengertian,Dasar Hukum,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Salam dan Istishna')

Nama : Ma’rifah 

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist 

Menurut saya materi yang disampaikan dari salam dan istishna' adalah sama sama membeli barang hanya saja pembayarannya berbeda. Jika salam adalah di awal sedangkan istishna' di akhir waktu. Dan juga salam adalah membeli suatu barang yang sudah ada bentuk/barang nya dan pembayarannya dilakukan diawal. Contohnya adalah jualan online melalui aplikasi. Sedangkan istishna' adalah membeli atau memesan suatu barang yang belum ada barangnya atau bentuknya. Contohnya adalah memesan suatu barang yang belum ada ditoko atau diproduksi dan kemudian dilakukannya pemesanan dan dibayar pada akhir waktu.

SALAM DAN ISTISHNA'

A. Pengertian Salam

Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli dengan penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati diawal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas  barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Ulama malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana modal (pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan objek pesanan diserahkan kemudian dengan jangka waktu tertentu.

Secara bahasa assalam atau assalaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”. Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al- Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam). Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al- Baqarah ayat 282:5 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya...”. Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :  “Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu."

Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.

B. Dasar Hukum Salam

Jual beli salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran di antaranya:

1. Al-Qur'an  

Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

2. Hadist Jual Beli Salam

“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yangmelakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”. (Muslich, 2015:243).

“Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”(Riwayat As Syafi’i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)

Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits Rasulullah saat tiba di Madinah, warganya melakukan salam terhadap hasil tanaman untuk tempo setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Maka Rasulullah bersabda :

“Barang siapa melakukan salaf atas sesuatu, dalam lafazh lain: atas kurma, maka hendaklah ia mensalaf dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga waktu yang jelas.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan bahwa para ulama telah sepakat (ijma’) atas dibolehkannya salam.

 3. Ijma’

Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.

C. Rukun dan Syarat Salam

Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual beli salam adalah sebagai berikut:

  1. Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
  2. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
  3. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
  4. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
  5. Shigat adalah ijab dan qabul

Syarat – syarat salam

  1. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad. Berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.
  2. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
  3. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu yang dijanjikan barang itu harus sudah ada. Oleh sebab itu memesan buah-buahan yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
  4. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan, ukuran ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
  5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifat itu berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan antara kedua belah pihak (si penjual dan si pembeli). Begitu juga macamnya, harus juga disebutkan.
  6. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut. Akad salam harus terus, berarti tidak ada khiyar syarat.

D. Teknik Pelaksanaan Salam

Mekanisme Pembiayaan dengan Akad Salam Pararel:

Ada salam jenis lain yaitu salam paralel. Akad ini mengesahkan akad salam yang lain. Pembeli dalam akad salam yang pertama menjadi penjual pada akad salam kedua dengan obyek barang dan ciri-ciri barang yang sama. Akad salam pertama dipersingkat untuk memudahkan akad salam kedua, namun tidak ada kaitan yang saling bergantung di antara kedua akad salam tersebut. Oleh karena itu, pembeli pada akad salam pertama menjadi penjual pada akad salam kedua atau salam paralel tanpa terkait dengan akad salam pertama.

Praktek salam di bank syariah, bank membayar harga barang pada saat akad. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya. Bank kemudian menjual kembali barang tersebut dengan harga yang ditangguhkan lebih tinggi dari harga awal melalui model salam. Maka bank menerima keuntungan.

E. Pengertian Istishna’

Istisna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istilah istisna secar terminalogi adalah transaksi terhadap barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual.

Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama.13

F. Subjek Istishna

  1. Pokok kontrak : Mashnu’, barang ditangguhkan dengan spesifikasi.
  2. Bisa di awal, tangguh, dan di akhir.
  3. Mengikat secara ikutan : Menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

G. Dasar Hukum Istishna

Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barangbarang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual  beli istisna barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak boleh.

Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada . Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar. Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur dalam undang-undang dan fatwa.

1. Al-Quran

Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275) Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkanseperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang meng-ulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

2. As-Sunnah

As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu : Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non- Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

3. Al Ijma’

Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secardefakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al istisna, apakah termasuk akad jual beli atau akad sewa atau akad as-salam.

H. Rukun dan Syarat Istishna’

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
  1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
  2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan
  3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.

Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga  mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.

  1. Modal transaksi ba’i istishna’
    1. Modal harus di ketahui 
    2. Penerimaan pembayaran salam 
  2. Al-muslam fiihi (barang) 
    1. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang 
    2. Harus bisa di identifikasi secara jelas 
    3. Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari 
    4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i 
    5. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang 
    6. Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain.

I. Dalil Tentang Istishna'

Ulama’ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut guna menguatkan pendapatnya:

Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa hokum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid. 

Dalil kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak. Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim) Perbuatan

Dalil ketiga: Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan

Dalil keempat: Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”

Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i Asshanaai’i oleh Al Kasaani 5/3). Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam,yaitu taisir (memudahkan): “Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)

Dalil keenam: Akad istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.

J. Teknik Pelaksanaan Istishna’

Mekanisme Pembiayaan dengan Akad Istisna Pararel: Adapun Paralel istisna adalah bukan Istisna yang umumnya berjalan di tengah masyarakat. Akan tetapi ia merupakan transaksi antara bank (sebagai penjual) dalam kontrak istisna’ yang asli dengan pembuat barang pada pihak yang lain. Produk barang yang dibuatnya adalah mengacu pada ciri-ciri barang yang telah disepakati pada akad pertama, dimana bank pada saat itu adalah sebagai pihak yang meminta untuk dibuatkan. Maka jadilah dua akad ini sebagai akad istisna’ paralel tanpa ada hubungan antara akad pertama dan akad kedua. Posisi bank dalam akad istisna yang pertama, dianggap sebagai penanggung biaya pada istisna paralel, sehingga bank berhak mendapatkan untung. Bank juga berhak menentukan waktu kapan penyerahan barang akan dilakukan. Minimal sama dengan waktu penyelesaian pada akan pertama, ataukan lebih lama pada istisna paralel.

Selasa, 08 Desember 2020

MATERI IJARAH (Pengertian,Dasar Hukum, dan Teknik Pelaksanaan Ijarah)

 

Nama : Ma’rifah

Kelas : 3E

NIM : 63040190181

Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah

Makul : Hadist

Menurut saya materi yang disampaikan tentang ijarah adalah kegiatan yang dimana memanfaatkan sesuatu dari orang lain baik berupa benda maupun jasa dengan timbal balik berupa memberinya upah sebelum/setelah memanfaatkan barang ataupun jasa sesuai dengan kesepakan dua belah pihak. Iintinya perjanjian ini dilakukan sesuai kesepakan kedua belah pihak. Dan akad yang dilakukan berbeda dengan kegiatan akad lainnya. Dan akad ini harus ditentukan waktunya terlebih dahulu.Contoh sederhananya adalah ketika Si A ingin bekerja disuatu daerah dan membutuhkan kontrakan atau kos-kos an disana dan tidak sengaja bertemu dengan rumah berupa kontrakan yang dimiliki Si B dan akhirnya Si A sepakat menyewa kepada Si B dan memberikannya upah sesuai dengan kesepakatan.

IJARAH

 

A. PENGERTIAN IJARAH

Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu”(ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.  Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula. Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :

  1. Ulama Hanafiyah “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.” 
  2. Ulama Asy-Syafi’iyah “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.“ 
  3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah “ Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “

Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas benda. Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya. Menanggapi pendapat di atas , Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal Ijarah sebagimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-qur’an, As sunnah,

ijma’ maupun qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misal pohon yang mengelurkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari suatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.

 B. DASAR HUKUM IJARAH

Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks al-Qur‟an, hadist- hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai berikut:a.BerdasarkanAl-quranDalam al- Qur‟an ketentuan tentang upah tidak tercantum secara terperinci. Akan tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti dibawah ini:

  1. Al Qur’an 
    1. Qs. Al-Baqarah : 233 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamumemberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah:(2) :233). Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang memperkerjakan orang lain hendaknya memberikan upahnya. Dalam hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari orangyang dikerjakan. Jadi, yang dibayar bukan harga air susunya melainkan orang yang dipekerjakannya.    
    2.  Qs. An-Nahl:97 Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl:(16) :97) Didalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah akan memberikan imbalan yang setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
    3. Qs. Az-Zukhruf; 32 Artinya :“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(QS az-Zukhruf:(43) :32) Lafadz “Sukhriyyan”yang tepat dalam ayat di atas bermakna saling menggunakan. Namun pendapat Ibnu Katsirdalam buku Pengantar Fiqih Muamalah karangan Diyamuddin Djuwaini , lafaz ini diartikan dengan supaya kalian saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya adalah dengan ijarah atau upah-mengupah. 
    4. Qs. Al-Qashsas:26 Artinya :salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya(QS al-Qashas:(28) :26). Ayat-ayat ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa As bertemu dengan putri Nabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa As untuk di sewa tenaganya guna mengembala domba. KemudianNabi Ishaq mengatakan bahwa Nabi Musa As mampu mengangkat batu yang hanya bisa diangkat oleh sepuluhorang, dan mengatakan ”karna sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat di percaya. Cara ini menggambarkan proses penyewaan jasa sesorang dan bagaimana pembiayaan upah itu dilakukan. 
  2. Hadits 

Hadist-hadist Rasulullah SAW yang membahas tentang ijarah atau upah mengupah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda :“Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah). Terdapat juga pada Hadist riwayat Abd Razaq dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda:“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya” (HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah) Dalam hadist riwayat Bukhari : “Di riwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Bahwasanya Rasulullah SAW, pernah berbekam, kemudiaan memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya” (HR.Bukhari) Dalam hadist riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Sa‟d ibn Abi Waqqash, ia berkata : “Dahulu kami menyewa tanah dengan bayaran hasil dari bagian tanah yang dekat dengan sungai dan tanah yang banyak mendapat air. Maka Rasulullah melarang cara yang demikian dan memerintahkan kami membayarnya denganemas atau perak” (HR.Ahmad dan Abu Dauddan Nasa’i) Dalam hadistyang diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud dari Sa‟d ibn Abi Waqqash, Rasulullah Saw bersabda: “tidaklah seseorang memakan makanan itu lebih baik di banding jika ia memakan dari jerih payahnya sendiri Sesunggunya Nabi Daud sealalu makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR Bukhori)  

    3. Ijma

Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini.  Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah. Jadi, berdasarkan nash al-Qur’an, Sunnah (hadis) dan ijma’ tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah atau upah mengupah boleh dilakukan dalam islam asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.

 C. TEKNIS PELAKSANAAN IJARAH

1. Rukun dan Syarat Ijarah

  • Rukun Ijarah

Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan. 14 Sedangkan menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid(orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat.Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di uraikan sebagai berikut:

  1. Aqid(Orang yang berakad)

Orang yang melakukan akad ijarahada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir.Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu  dan yang menyewa sesuatu.Bagi yang berakad ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak sah.

    2. Sighat Akad

Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salahseorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah. Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 18 Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab. Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam ijarahharus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.

    3. Ujroh(upah)

Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya: 

  1. Sudahjelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbalbalik, karena itu 
  2. iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui. 
  3. Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karenadia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji duakali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja. Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap. 

    4. Manfaat

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang .Semua harta benda boleh diakadkan ijarah diatasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    1. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secarajelas. Hal ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang. 
    2. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga. 
    3. Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara‟. Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat tidak sah. 
    4. Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya,sewa rumahuntuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak dibenarkansewa-menyewa manfaat  suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya. 
    5. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.
  • Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah:
  1. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarahnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan akad Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya. 
  2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah. 
  3. Manfaat yang menjadi objek Ijarahharus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah. 
  4. Objek Ijarahitu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya rumah atau took harussiap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain maka setelah itu habis sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain. 
  5. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka beribadat.

2. Macam-macam Ijarah

Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :

  1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa.Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. 
  2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang . Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewarumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulamafiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini biasanya bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atausekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit. Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh hukumnya boleh.

3. Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (Upah-mengupah)

Ijarah atas pekerjan atau upah mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnyamembangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, memperbaiki mesin cuci atau kulkas dan sebagainya.Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajiratau tenaga kerja. Ajir atau tenaga kerja ada dua macam, yaitu :

  1. Ajir(tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hali ini ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orangyang telah mempekerjakannya. Contohnya, seseorang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu. 
  2. Ajir(tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih darisatu orang sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. Contohnya, tukang jahit, notaries, dan pengacara. Hukumnya adalah ia (ajir musytarik)boleh bekerja untuk semuaorang, dan orang yang menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain . ia (ajir musytarik) tidak berhak atas upah kecuali dia bekerja.

4. Berakhirnya akad ijarah

Para ulama fiqh meyatakan bahwa akad al-ijarahakan berakhir apabila:

  1. Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang di jahitkan hilang. 
  2. Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh. 
  3. Menurut ulama hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad. Karena akad al- ijarahmenurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarahtidak batal dengan afatnya salah seorang yang berakad. Karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad. 
  4. Menurut ulama hanafiyah, apabila uzur dari salah satu pihak. Seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait utang yang banyak, maka al-ijarah batal. Uzur- uzur yang dapat mebatalkan akad al-ijarahitu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak muflis, dan berpindah tempat penyewa. Misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi menurut jumhur ulama, uzur yang bolehmembatalkan akad al- ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atas manfaat yang dituju dalam akal itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
Menurut saya mengenai materi yang diatas  

MATERI WAKALAH (Pengertian,Dasar Hukum Wakalah ,Syarat dan Rukun,Teknik Pelaksanaan Wakalah)

  Nama : Ma’rifah  Kelas : 3E NIM : 63040190181 Jurusan : Manajemen Bisnis Syariah Makul : Hadist   Menurut saya wakalah adalah peli...